Tuesday, December 31, 2013

State Under Attack: Kritik Good Governance

DESEMBER , 2013
State Under Attack
Good  governance
Is there any hidden agenda?
Imam Sutrisno
Sumbawa, 23 Juni 1988
Alamat Rumah :
Jl. Bimokurdo No.349
Sapen-Yogyakarta
Hp : 087836666685
MAHASISWA ( S1)
JURUSAN ILMU SOSIATRI
SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASAYARAKAT DESA “APMD” YOGYAKARTA

Makalah ini memuat tinjauan akademik tentang konsep dan praktek konsep Good  governance di Indonesia. Menggunakan kajian pustaka dan hasil penelitian terkini yang terkait dengan landasan ontologi serta praktek Good  governance sebagai pijakan analisis.
Terbagi menjadi lima bab, bab pertama membahas tentang landasan ontologi dari konsep good  governance serta menyoal kesesuaiannya dengan landasan konstitusional Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bab ke dua, berisi kajian kritis terhadap ideologi Ordo-liberal dari sudut pandang keilmuan economic antropology, Bab tiga memaparkan hasil penelitian di Kota Malang beserta kesimpulan penulis. Bab empat  memuat analisis komparatif good  governance dengan konsep alternatif  pembanding yang  diambil dari makalah berjudul “Sebuah Eksampelar Otonomi Daerah ( Membumikan “Grassroots  governance” dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia)”, Karya Susanto Polamolo. Kemudian di bab terakhir berisi kesimpulan.
                                                  BAB I
PENDAHULUAN

  1. Kerangka Berfikir

Sama halnya dengan teori developmentalisme[1],  Teori Good  governance merupakan teori tentang tata kelola kepemerintahan dan pembangunan yang dipromosikan oleh negara-negara maju melalui UNDP, World Bank dan IMF untuk diterapkan dinegara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Setelah teori sebelumnya (developmentalisme) mulai digugat oleh banyak pihak karena tidak kunjung mampu menyelesaikan persoalan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan melalui mekanisme yang disebut trickle down effect[2], munculah beberapa tawaran alternatif teori pembangunan lain yang lebih mengedepankan pemberdayaan dan partisipasi.
Teori good  governance adalah salah satu alternatif dari sekian banyak pilihan yang mengusung semangat pemberdayaan dan partisipatoris. Lebih jauh mengkaji tentang teori good  governance, ternyata teori ini tidak hanya muncul dengan mengusung dua semangat tersebut (pemberdayaan dan partisispasi). Namun teori ini muncul sebagai sebuah tawaran sistem yang komprehensif dan seolah-olah sangat relevan dengan kebutuhan kondisi negara-negara berkembang yang memerlukan perbaikan serius di banyak aspek. Secara garis besar good  governance menyediakan seperangkat konsep baru tentang tata kelola kepemerintahan, demokratisasi, serta penguatan sektor privat (market) dan civil society.
Sepintas, teori good  governance nampak sebagai sebuah gagasan baru yang relevan dengan konteks kekinian di Indonesia. Jargon demokratisasi dan penguatan civil society melalui konsep pemberdayaan dan partisipasi yang diusungnya, seperti menjadi jalan keluar dari kompleksitas persoalan yang tengah melanda dan sekaligus menjadi “ramuan penawar atas trauma kolektif”[3] yang terjadi pada masa rezim otoriter Orde Baru. Oleh karenanya tidak heran apabila teori ini menjadi kajian yang cukup populer dikalangan akademisi. Bahkan sebagian dari akademisi diberbagai kampus telah melegitimasi teori good  governance dan kemudian dipromosikan dalam ruang-ruang perkuliahan sebagai gagasan dan teori yang dianggap relevan untuk diterapkan di Indonesia.
Mengenai relevansi sebuah teori, tentu saja diperlukan  kajian-kajian yang mendalam untuk memastikannya. Tidak hanya kesesuaiannya dengan kondisi sosio-kultural dimana teori tersebut akan diterapkan, lebih penting dari hal itu adalah mengkaji lebih jauh landasan ontologis, sejarah kelahiran serta model konstruksi masa depan yang terproyeksi melalui prediksi futuristik[4] yang dijanjikan tercapai oleh teori tersebut. Apalagi jika teori yang dimaksud menyangkut teori tata kelola kepemerintahan dan pembangunan dalam arti yang luas, melegitimasi dan menerapkannya harus diimbangi dengan kesiapan untuk menerima- atau kemampuan mengatasi jika ternyata tidak sesuai dengan harapan - segala bentuk konsekuensi logis yang akan muncul dikemudian hari.
Menyelidiki tingkat relevansi, mengkaji landasan ontologi dan mencoba melakukan prediksi atas dampak yang mungkin saja muncul dari penerapan sebuah teori, selain merupakan bentuk aktivitas kajian kritis akademik, juga merupakan sebuah upaya antisipatif terhadap dampak negatif yang mungkin saja muncul ketika teori tersebut diterapkan dalam ranah kongkrit. Kita tentu saja tidak ingin mengulang “kekacauan” yang terjadi di masa kepemerintahan Orde Baru, dimana teori developmentalisme yang sebelumnya dianggap “baik” ternyata mendatangkan persoalan yang sangat kompleks.
Selanjutnya penulis akan berupaya melakukan pengkajian akademik tentang landasan ontologi dan praktek good  governance di Indonesia. Serta menakar kesesuaiannya dengan salah satu landasan konstitusi kita yaitu pasal 33 Undang-undang Dasar 1945.
Adapun kerangka teoritis yang digunakan sebagai dasar analisis adalah pemahaman bahwa teori lebih dari sekedar metodologi. Teori menyediakan pedoman tentang bagaimana melakukan penelitian, untuk membuat “apa yang terjadi di latar sosial yang sedang dipelajari” masuk akal (Mills, 1993, hal. 103) dan juga menyediakan “sebuah kerangka untuk mendekati persoalan dan pertanyaan” (Mills, 1993, hal. 114). Selain itu makalah ini menggunakan kerangka teori governmentality[5], yang berasal dari karya-karya Michel Foucault (1926-1984).

  1. Good  governance sebagai cara kerja Ordo-liberal[6]

Good  governance secara umum dapat diartikan sebagai sebuah teori yang menghendaki terciptanya relasi yang sejajar antara tiga aktor yang dianggap penting dalam pengelolahan dan pembangunan sebuah negara, yakni state (negara), privat sector/market (sektor usaha/pasar) dan civil society (masyarakat). Peran aktif dari ke-tiga aktor tersebut diyakini dapat mendorong terciptanya sebuah kondisi yang ideal. Argumentasinya adalah dengan good  governance maka distribusi anggaran pemerintah dan kalangan bisnis kepada masyarakat miskin makin terbuka lebar (Renzio, 1997).
Dalam rumusan teori good  governance, optimalisasi peran negara sebagai organisasi yang menyediakan perangkat-perangkat kebijakan guna menciptakan kondisi yang menunjang penguatan sektor privat akan diikuti oleh penguatan civil society sebagai dampak implisitnya.
Komunitas Eropa merumuskan good  governance sebagai pengelolaan kebijakan sosial ekonomi yang masuk akal, pengambilan keputusan yang demokratis, transparansi pemerintahan dan pertanggungjawaban finansial yang memadai, penciptaan lingkungan yang bersahabat dengan pasar bagi pembangunan, langkah-langkah untuk memerangi korupsi, penghargaan terhadap aturan hukum, penghargaan terhadap HAM, kebebasan pers dan ekspresi. Sedangkan UNDP (1997) memberi pengertian good  governance sebagai sebuah konsensus yang dicapai oleh pemerintah, warga negara dan sektor swasta bagi penyelenggaraan pemerintahan dalam sebuah negara.
Penulis akan menganalisis dua variabel pokok dalam teori good  governance untuk dapat melacak landasan ontologi yang digunakan. Pertama tentang optimalisasi peran negara untuk menciptakan lingkungan yang bersahabat dengan pasar, kedua adalah tentang kedudukan privat sector/market yang disejajarkan dengan negara dan civil society.
Sebagian kalangan berpendapat bahwa good  governance merupakan teori yang lahir dari ideologi neo-liberal. Namun perlu diketahui bahwa dalam perkembangannya, neo-liberal mengalami metamorfosis[7] yang berpengaruh pada perubahan gagasan dan ide-ide dasarnya dalam konteks rumusan tata kelola kepemerintahan dan struktur pembangunan global (yang meskipun tetap berorientasi “pasar”). Setidaknya ada dua bentuk metamorfosis terbaru neo-liberal yang dapat terdeteksi dari kajian pustaka yang dilakukan penulis. Pertama hasil metamorfosis yang dinamakan Ordo-liberal dan yang kedua hasil metamorfosis yang dikenal dengan sebutan Mazhab Chicago[8]. Salah satunya (Ordo-liberal), merupakan landasan ontologi dari good- governance.
Untuk menguatkan hipotesis penulis mengenai landasan ontologi dari teori good  governance, kita akan menyelami good  governance dengan menggunakan kerangka teori governmentality yang merupakan hasil karya Michel Foucault. Berikut beberapa analisis dari kerangka teori governmentality :
Dalam penjelasan Foucault tentang liberalisme[9] (baca : induk dari Ordo liberal dan Mazhab Chicago), bahwa “liberalisme cenderung memiliki laku refleksi kritis pada praktik pemerintahan”. Lebih jauh dengan menggunakan konsep governmentality Faucoult menyajikan sudut pandang yang berbeda untuk analisis politik-kritis atas neo-liberalisme dan dampaknya (Dean, 1999; Gordon, 1991; Lazzarato, 2005; Lemke, 2001; Rose, 1996a dalam Bagus Aryo 2012).
Faucoult menunjukkan bahwa sampai dengan abad ke-18 perihal pemerintahan ditempatkan dalam konteks yang lebih umum (1997b). “Pemerintahan” adalah istilah yang dibahas tidak hanya dibidang politik tetapi juga didalam teks-teks filosofi, agama, medis, dan pedagogis. Faucoult mendefinisikan pemerintah sebagai perilaku, atau lebih tepatnya “perilakunya perilaku” (the conduct of conduct) (Foucault, 1982, hal. 220-221; Gordon, 1991, hal., 2), sebuah istilah yang memuat dari praktek “mengatur diri” hingga “mengatur orang lain” (Lemke, 2001). Definisinya lebih luas dari sekedar pengelolaan negara, karena merangkum pula masalah pengendalian diri, bimbingan bagi keluarga dan anak-anak, pengendalian jiwa, dan lain-lain (Foucault, 1997b). Konsep pemerintahan dapat digunakan untuk menyusun kemungkinan-kemungkinan bertindak, dan untuk menata kondisi-kondisi atau mengatur benda-benda hingga individu, kelompok, atau orang-orang dapat dituntut untuk “berprilaku seperti seharusnya” dengan cara-cara yang telah diperhitungkan (Bagus Aryo, 2012).
Dalam praktiknya, governmentality berkaitan dengan mengelola, mendisiplinkan, dan mengatur individu, populasi, serta ruang sosial dalam rangka mempertahankan dan mengoptimalkan kondisi-kondisi kehidupan. Ia beroperasi dengan mengidentifikasi anomali atau kekurangan, dan berusaha untuk “mengoreksinya” melalui intervensi yang direncanakan (Bagus Aryo, 2012).
Malley dkk (1997, dalam Bagus Aryo 2012), berpendapat bahwa salah satu prinsip governmentality yang paling mendasar adalah penolakan terhadap penyamarataan pemerintah dengan negara. Yang tak kalah penting adalah adopsi strategis teoritis dimana kekuasaan dilucuti menjadi rasionalitas politik, program-program pemerintah, serta teknologi dan teknik pemerintahan.
Paparan tentang governmentality diatas, mengungkap keterkaitan langsung antara good  governance dengan neo-liberalisme dan/atau berbagai macam bentuk metamorfosis dan bentuk pengembangannya. Poin keterkaitannya terletak pada bagaimana liberalisme meletakkan ide-ide dasar mengenai pemerintahan beserta tata kelolanya sebagai hasil dari laku refleksi kritis terhadap pemerintahan seperti yang dimaksudkan Foucault di pemaparan terdahulu. Good Governance merupakan salah satu wujud dari rasionalitas politik, teknologi atau teknik kepemerintahan yang dimaksud. Hal penting yang perlu diungkap adalah, kepentingan (hidden agenda)[10] dibalik kerja-kerja keilmuan serius yang dilakukan kaum neo-liberalisme dalam merumuskan konsep pemerintahan.
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, good  governance dalam kaitannya sebagai hasil kerja keilmuan Ordo-liberal, perlu dipahami sebagai sebuah teori baru yang menyangkut tata kelola kepemerintahan dan pembangunan. Dimana teori ini kemudian dipromosikan oleh negara-negara maju melalui beberapa lembaga internasional seperti UNDP, IMF dan World Bank.
Melalui teori good  governance, negara-negara berkembang digiring sedemikian rupa untuk menggeser perinsip-perinsip dasar tentang negara dan kepemerintahan. Konsep government bergeser ke konsep  governance yang memposisikan negara sebatas menjadi sub-ordinat kekuatan ekonomi global serta menjembatani kepentingan siklus modal negara-negara maju.
Tugas utama pemerintah ( governance) dalam konsep teori good  governance adalah menyusun kemungkinan-kemungkinan bertindak, dan untuk menata kondisi-kondisi atau mengatur benda-benda hingga individu, kelompok, atau orang-orang dapat dituntut untuk “berperilaku seperti seharusnya” dengan cara-cara yang telah diperhitungkan (Bagus Aryo, 2012).
Beranjak pada uraian inti dalam sub-bab ini, yaitu pembahasan tentang Ordo-liberal. Dasar-dasar teoritis dan pemikiran Ordo-liberal terletak pada pandangan anti naturalistis mereka yang radikal atas pasar dan prinsip persaingan. Pandangan anti naturalistis menegaskan bahwa konstruksi tatanan ekonomi tidak dapat diserahkan kepada perilaku alamiah pasar, tapi harus diciptakan oleh negara melalui kebijakan yang berbasis aturan yang konsisten (Peacock & Willgerodt, 1989). Kompetisi bukanlah sesuatu yang ada secara “alamiah” tetapi menjadi bagian dari intervensi negara untuk membangun suatu tatanan ekonomi yang kompetitif (Lemke, 2001).
Sedikit uraian mengenai Ordo-liberal dalam paragraf diatas, merupakan landasan berfikir sekaligus argumentasi teoritik yang digunakan oleh teori good  governance atas rumusan-rumusannya menyangkut tata kelola kepemerintahan dan pembangunan masyarakat. Oleh karenanya, perlu dipahami secara kritis bahwa gagasan-gagasan utama good governance tentang change political organitation, the representation of interest, and processes debate and policy decision-making (Edward S. Mason, 2002), rule of law, transparancy, responsiveness, consensus orientation, equity, effectiveness and efficiency, accountability, strategic vision (Harianto Usia, 2012), semata-mata dalam kepentingan memformat situasi dan kondisi sosial agar lebih bersahabat dengan pasar.
Hal tersebut menjadi lebih jelas dalam penguraian Foucault tentang dua fungsi kebijakan sosial dalam pemahaman Ordo-liberal. Menurut Foucault, kebijakan sosial memiliki dua fungsi. Yang pertama adalah fungsi yang didasarkan pada prinsip “ketidaksetaraan yang merata untuk semua” (Lemke, 2001, hal. 195 dalam Bagus Aryo 2012). Kebijakan sosial harus menjadi kendaraan untuk melipatgandakan dan mengembangkan bentuk-bentuk kewirausahaan didalam masyarakat (Lemke, 2001 dalam Bagus Aryo 20012). Dengan demikian, kebijakan sosial menciptakan model hubungan sosial per se dari mekanisme ekonomi yang berupa penawaran dan permintaan, persaingan, dan sebagainya. Kemudian, kebijakan sosial juga harus memproduksi atau mengaktifkan “kehangatan” nilai-nilai moral dan budaya pasar yang tidak identik dengan “dinginnya” mekanisme kompetisi[11] (Faucoult, 2008, hal. 242 dalam Bagus Aryo, 2012).
Fungsi kedua, kebijakan sosial menjadi alat intervensi sosial untuk mendukung fungsi pertama. Fungsi ini adalah bagian penting dari lembaga ekonomi sekaligus instrumen yang tak terpisahkan untuk menciptakan dan mengamankan perwujudan kewirausahaan dalam masyarakat. Masyarakat mandiri (enterphrise society) yang dibayangkan oleh Ordo-liberal adalah “masyarakat yang ada untuk pasar dan masyarakat yang menghadapi pasar, masyarakat yang berorientasi pada pasar dan masyarakat yang mengimbangi akibat-akibat yang ditimbulkan pasar bagi nilai-nilai dan keberadaannya” (Faucoult, 2008 dalam Bagus Aryo 2012).
Gambaran-gambaran penguraian tentang Ordo-liberal sangat identik dengan pola tata kelola kepemerintahan dan pembangunan masyarakat yang di usung oleh teori good  governance. Format relasi yang menyetarakan antara tiga aktor penting dalam rumusan good  governance (state, privat sector dan civil society) mengindikasikan kuatnya unsur kerja-kerja logika pasar dalam teori good  governance.
 Governance merupakan konsep perbaikan tata pemerintahan yang di susupi oleh kepentingan ekonomi, jika di kaji lebih jauh tentang pilar  governance itu sendiri yang terdiri dari tiga aktor utama yakni negara, masyarakat dan swasta (pasar), maka terlihat jelas bahwa kepentingan ekonomi bermain pada ranah swasta. Negara di haruskan untuk membuat kebijakan dan menguatkan peran swasta dalam penyelenggaraan pemerintahan. Lebih jauh peran pasar tersebut di terjemahkan oleh lembaga IMF dan Bank Dunia dengan paket kebijakan di antaranya, pelaksanaan kebijakan anggaran yang ketat termasuk penghapusan subsidi negara dalam berbagai bentuknya, pelaksanaan liberalisasi sektor keuangan, liberalisasi sektor perdagangan (pasar bebas), dan privatisasi BUMN. Dengan demikian negara berkembang dan negara miskin akan semakin di miskinkan dengan kebijakan ini karena tidak memiliki capacity[12] yang memadai untuk memproteksi lajunya bencana ekonomi yang di bungkus dalam kemasan perbaikan tata pemerintahan (Hariyanto Usia, 2012).
Edward S. Mason menyampaikan bahwa, “Good  governance is aloudable goal. Strong and compelling reasons can be advanced to demonstrate how important it is to the development process in general and the reduction of poverty and particular. Yet, for many countries, and particularly for the poorest, good  governance is a distant possibility. More to the point, in being encouraget to seek this laudable goal, countries that suffer from weak or nonexistance institutions, inefficient organization, and poorly developed human resources are likely to be overhelmed by all the things that “must be done” to archiev it.
 Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, penulis kemudian mengambil dua kesimpulan dalam bab ini. Kesimpulan pertama tentang Good  governance sebagai konsep teori yang lahir dari paham Ordo-liberal. Kesimpulan kedua, good  governance sebagai sebuah teori yang lebih memprioritaskan kepentingan pasar sehingga dalam beberapa aspek melemahkan fungsi serta kedaulatan negara, oleh karenanya teori good  governance kontradiktif dengan landasan konstitusional Indonesia yakni pasal 33 Undang-undang Dasar 1945.











BAB II
KRITIK IDEOLOGI

  1. Ekonomi Pasar dan Konsep “Manusia Serigala”[13]

“ Good  governance tidak lebih sebagai konsep imperialis dan kolonialis. Good  governance hanya akan mengerdilkan struktur negara berkembang, sementara kekuatan bisnis dunia makin membesar”, pernyataan Presiden Tanzania Julius K. Nyerere di depan Konferensi PBB di Afrika tahun 1998

Pada bab sebelumnya telah dijelaskan tentang rumusan tata kelola kepemerintahan dalam teori good  governance yang beroperasi melalui ragam intervensi negara dalam bentuk kebijakan hukum (legal policy) dan kebijakan  sosial, dengan tujuan memformat sedemikian rupa aspek kognisi hingga perilaku masyarakat agar dapat bertransformasi menjadi enterprise society[14].
Hal tersebut menegaskan bahwa teory good  governance yang berlandasakan ideologi Ordo-liberal adalah teori yang lahir “dari dan untuk” kepentingan pasar. Dengan kata lain dalam wujud aslinya good  governance tidak lebih dari sekedar agenda lanjutan negara-negara maju dan multi national coorporate dalam melancarkan neo-imperialisme ekonomi terhadap negara-negara dunia ke-tiga. Fakta ini menegaskan bahwa reformasi yang diharapkan membawa perubahan subtansial ternyata belum mampu “memotong” tradisi intervensi asing (dengan ideologi liberalnya) yang kian menggerogoti sendi-sendi perekonomian rakyat.
Hal terpenting yang patut dikhawatirkan atas bahaya penerapan ekonomi pasar yang liberalistik adalah asumsi dasar dan pemaknaannya yang sempit tentang aktivitas ekonomi. Dalam kajian economic anthropology[15], dijelaskan bahwa sistem perekonomian pasar didasarkan pada persaingan antara pembeli dan penjual. Semua pihak berhubungan untuk memperoleh keuntungan bagi pihaknya sendiri, dan transaksi dilakukan tanpa perlu mengenal lawan transaksi. Keuntungan dan persaingan adalah kata-kata kunci yang diyakini dipentingkan oleh setiap anggota masyarakat. Melalui hal tersebut perekonomian pasar menjanjikan efisiensi alokasi sumber daya, namun ia tidak pernah menjanjikan pemenuhan kebutuhan bagi setiap orang. (Adam & Jesica Kuper, 2002)
 Demikianlah sistem perekonomian pasar membangun atmosfer relasi sosial yang kian kompetitif, “dingin”, dan pada akhirnya menciptakan manusia-manusia yang individualistik. Relasi sosial tereduksi menjadi sebatas kompetisi untuk mengejar keuntungan yang tidak sekedar didasarkan pada pemenuhan kebutuhan semata, namun lebih dari itu kompetisi dalam bentuknya yang paling sempurna kemudian menjadi semakin identik dengan ekspansi modal menuju akumulasi profit. “...akumulasi profit ini, tidak bisa tidak, hanya dimungkinkan melalui ketimpangan dalam masayarakat dalam hal akses dan otonomi dalam berproduksi. Kapitalisme, dengan demikian dapat hidup hanya melalui eksploitasi ketimpangan ini”. (Jaringan Riset Kolektif)
Perekonomian pasar dan segenap teori serta kebijakan pendukungnya tidak pernah mampu lepas dari unsur liberal-individualistik. Good  governance lahir dengan mengemban misi mendorong transformasi cara berfikir dan perilaku masyarakat dunia untuk sepenuhnya menjadi liberal dan yang terpenting individualistik. Otoritas dan kedaulatan negara dilucuti -atau diformat- sedemikian rupa agar tidak lagi menjadi penghambat penetrasi pasar. Hal ini nampak dari hegemoni keseragaman pemahaman yang dibangun oleh lembaga-lembaga donor internasional tentang istilah “kesejahteraan”. Kesejahteraan dalam pemahaman sepihak penganut ideologi pasar dipersempit maknanya menjadi sebatas peningkatan “daya beli”. Faktor penyempitan makna inilah yang kemudian menyebabkan kronisnya perilaku kompetitif-liberalistik yang sering kali mengabaikan unsur-unsur nilai,moral dan makna kolektivitas.
Salah satu tolak ukur keberhasilan ekonomi pasar adalah terciptanya kondisi dimana seluruh individu terlibat sepenuhnya dalam pasar, memiliki daya saing sekaligus daya beli yang tinggi. Dalam wujud perkembangannya yang paling sempurna dunia akan dipenuhi oleh  manusia/individu yang masing-masing berkompetisi dalam rangka pemenuhan kebutuhannya sendiri, dititik itulah kita akan benar-benar menjumpai manusia sebagai “Homo Homini Lupus” (Manusia yang satu adalah serigala bagi manusia lainnya).
Dengan kata lain, melegitimasi dan menerapkan paham Ordo-liberal dalam wujud good  governance sebagai sarana pengaktifan mode kerja-kerja logika pasar dalam masarakat sama artinya dengan mengabaikan unsur-unsur sosialistik yang sejatinya ada dan bersemayam dalam diri dan jiwa setiap manusia. Tidak akan ada istilah “masyarakat” sebagai bentuk kolektivisme individu. Tersisa hanyalah kumpulan individu yang berinteraksi dalam relasi yang sepenuhnya kompetitif dan “dingin”.
Kita tentunya tidak ingin terjebak dalam kondisi dimana manusia hanya menjadi pemangsa atas manusia yang lain dengan mengatasnamakan upaya-upaya ekonomi dalam rangka pemenuhan kebutuhan. Jika kita tetap merasa “baik-baik saja” dengan potensi bahaya dibalik kepentingan yang tersembunyi dalam Ordo-liberal dan good  governance yang menjadi sarananya, nampaknya pertanyaan serius perlu kita ajukan kepada diri kita sendiri. Sudahkah kita menjadi manusia yang memanusiakan manusia?   Seperti yang pernah dipesankan oleh Sam Ratoelangi tentang kosep humanisme : “Sitou Timou Tumou Tou”[16] (Manusia yang memanusiakan manusia).

  1. Perekonomian berbasis  Komunitas dalam persfektif Economic Anthropology

Rasanya tidak cukup hanya mengajukan kritik ideology terhadap ontology good  governance berikut sistem ekonomi yang menjadi muatan utama didalamnya. Namun penulis merasa perlu mengetengahkan salah satu eksampelar sistem ekonomi yang menjadi tawaran alternatif. Kata alternatif menjadi penegas bahwa eksampelar yang akan ditawarkan bukanlah satu-satunya cara untuk menangkis sistem ekonomi pasar. Penulis sepenuhnya sadar bahwa kajian sederhana ini hanya mampu memuat sedikit dari sekian banyak alternatif sistem ekonomi yang sangat mungkin jauh lebih sempurna dan lebih berkesuaian dengan kondisi sosio-kultural masyarakat nusantara.
Dalam sub bab ini coba dikemukakan sedikit tentang sistem ekonomi berbasis komunitas dalam persfektif disiplin ilmu ekonomi antropologi. Perekonomian komunitas dalam persfektif ini dijelaskan sebagai “perekonomian yang dibentuk banyak asosiasi seperti rumah tangga, kelompok kekerabatan, lingkungan pemukiman, serikat perajin, sekte keagamaan, desa-desa mapan, kesatuan-kesatuan adat dan sebagainya. Segenap komunitas lokal itu saling melebur dalam melakukan berbagai kegiatan pemenuhan materi. Kepemilikan bersama merupakan prinsip penting, baik itu terhadap tanah, pengetahuan, alat produksi, dan bahkan ajaran leluhur, yang semuanya diyakini menjadi pemelihara keberadaan dan keutuhan masyarakat yang bersangkutan. Susutnya rasa kebersamaan dan saling memiliki akan menimbulkan konflik terbuka, dan hal itulah yang merupakan tugas utama pemimpinnya. Setiap hasil, misalnya binatang buruan, harus selalu dibagi-bagi secara merata, dimulai dari para anggota keluarga terdekat, kerabat, hingga ke para tetangga. Pemenuhan kebutuhan materi merupakan persoalan bersama”. (Stepehen Gudeman, 1990 dalam Adam & Jesica Kuper 2002)
Perekonomian berbasis komunitas meskipun sering kali di-labeli secara sepihak oleh kalangan tertentu sebagai sesuatu yang tradisional dan primitif, namun pada kenyataannya hadir dalam gagasan-gagasan yang lebih “ramah” dan humanistik. Dalam sistem ekonomi ini dan beberapa sistem ekonomi dengan istilah lain yang se-aliran, manusia tidak dipaksa untuk harus mengingkari aspek sosialitasnya sebagai mahluk yang sejatinya memiliki dua aspek (aspek individu dan aspek sosial). Relasi manusia satu dengan lainnya lebih dipahami dalam makna yang luas dan syarat dengan unsur nilai serta moral. Relasi tidak hanya dilihat sebagai sebuah interaksi industrialistik dengan iklim kompetisi individulistik yang ketat. Ia mewujud dalam gagasan-gagasan dan ide yang mementingkan kekerabatan dan kolektivitas.
Penulis tentu saja tidak ingin mengajak masuk ke ranah konsep ekonomi sosialis yang identik dengan Marxisme. Namun melampaui itu, penulis mencoba menawarkan gagasan-gagasan dan ide yang lahir dari genuinitas masyarakat nusantara. Kesemua itu hanya dapat diraih dengan melakukan kajian berbasis historycal approach yang serius dan mendalam. Perlu juga ditekankan, dengan mengajukan tawaran tersebut bukan berarti makalah ini berkepentingan mengajak kita semua untuk kembali ke masa lalu dan kemudian menjadi konservatif atau bahkan primitif. Sebisa mungkin perdebatan itu dijauhkan dari pembahasan-pembahasan dalam makalah ini. Karena dengan demikian, kita hanya akan terjebak pada dua istilah “gaib” yakni tradisonalitas vs modernitas yang tidak pernah jelas takaran dan pengertiannya.
Dalam pemahaman penulis, uraian yang ditulis Stephen Gudeman dalam Ensiklopedia Ilmu Sosial jilid I adalah sebuah eksampelar yang mendekati/identik dengan ciri-ciri umum yang nampak dari kekhasan sosio-kultural masyarakat nusantara. Selebihnya menemukan dan menegaskan kembali manifesto sistem ekonomi berbasis kearifan nusantara menjadi pekerjaan rumah bersama yang harus segera dikerjakan dengan serius. Bukan malah beralih jauh kepada sistem ekonomi pasar yang liberalistik. Mengutip tulisan kawan Njoto[17] : “Masalah Indonesia hanya dapat diselsaikan dengan jalan Indonesia, cara Indonesia dan gaya Indonesia”.    























BAB III
NEGARA DAN SEKTOR PRIVAT

A.    Konspirasi Pemerintah dan Pengusaha

Disejajarkannya tiga aktor penting dalam rumusan teori good  governance yakni negara, sektor privat/pasar dan masyarakat merupakan jalan yang ditawarkan untuk mewujudkan kelancaran pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Dengan asumsi, tiga aktor ini dapat bekerja sama secara simultan dalam upaya-upaya pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.
Namun pada kenyataannya kehadiran sektor privat ditengah-tengah relasi antara negara dan warga masyarakat tidak jarang justru mendatangkan persoalan lain yang menghambat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Hal ini muncul karena kerap terjadi “distorsi” kepentingan antara pelaku usaha dengan masyarakat. Disamping itu “keintiman” relasi antara pelaku usaha dan elit pemerintah sering berakhir pada  “perselingkuhan” atau konspirasi.
Berikut akan dipaparkan hasil penelitian yang dilakukan di Kota Malang, dikutip dari buku berjudul “Menggugat Partisipasi Publik dalam Pemerintahan Daerah (Sebuah Kajian dengan Pendekatan Berpikir Sistem)”, karya Dr. M.R Khairul Muluk, M.Si. .
Pada dasarnya, pengaruh elit ekonomi lokal[18] kepada pejabat pemerintah daerah dan anggota DPRD dalam penentuan kebijakan daerah disebabkan oleh kemampuan elit ekonomi lokal tersebut untuk menyediakan kebutuhan modal atau finansial dari pejabat pemerintah daerah dan anggota DPRD tersebut. Modal atau finansial ini dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pribadi, partai, ataupun daerah. Secara pribadi, banyak kebutuhan finansial diperoleh sebagai penghasilan diluar gaji dan diberikan oleh elit ekonomi lokal dalam beragam bentuk, seperti bonus, bingkisan, tanda terimakasih, dan lain sebagainya. Kebutuhan finansial partai politik dalam memperjuangkan kepentingannya juga sering kali dipenuhi oleh elit ekonomi lokal ini. Kepentingan partai politik untuk kampanye, lobi, dan pemeliharaan konstituen membutuhkan dana besar yang harus dipenuhi untuk mempertahankan eksistensisnya. Elit ekonomi lokal ini juga dibutuhkan oleh daerah untuk meningkatkan pembangunan ekonomi daerah. Investasi swasta dibutuhkan untuk meningkatkan pertambahan lapangan kerja, pajak daerah dan perputaran roda perekonomian. (Kahirul Muluk, 2007)
Kekuatan elit ekonomi lokal ini tidak hanya menyangkut kemampuannya dalam menyediakan sumber dana finansial, namun juga disertai kemampuan untuk memaksa melalui kekuatan fisik dan kekerasan. Kekuatan fisik ini diperoleh karena kemampuannya memengaruhi oknum polisi dan militer serta kemampuannya mengendalikan kelompok preman di Kota Malang. Dengan dua jenis kekuasaan yang dimiliki (ekonomi dan fisik) maka elit ekonomi lokal ini sangat berpengaruh dalam penentuan kebijakan publik di Kota Malang. Jika ada seorang anggota DPRD tidak terpengaruh kekuatan ekonomi elit ini maka ia masih akan berhadapan dengan kekuatan fisiknya. Seorang anggota DPRD mengungkapkan ketakutannya dengan : “yang harus kami pikirkan sebenarnya bukan diri kami sendiri. Mungkin kami bisa menjaga diri, tapi bagaimana dengan anak-anak dan istri kami. Walau bagaimanapun kami tidak dapat menjaga keselamatan mereka terus menerus. Kalau kami lapor polisi atau tentara dan meminta perlindungan kepada mereka jelas tidak mungkin, lha wong mereka justru melindungi dia.”[19] (Kahirul Muluk, 2007)
Dengan kondisi dinamika politik yang demikian. Sektor privat (pengusaha) di Kota Malang menjadi memiliki keleluasaan dalam mengintervensi kebijakan pembangunan daerah. Salah satu contoh yang dapat dikemukakan adalah disahkannya Perda No. 7 tahun 2001 menjadi dasar bagi berdirinya pusat perbelanjaan Malang Town Square (Matos) yang ditentang oleh banyak kalangan terutama masyarakat pendidikan dan LSM. Penentangan dilakukan dengan alasan bahwa Matos berdiri dikawasan pendidikan  sehingga dikhwatirkan akan mencemari kondusifitas iklim pendidikan.
Meskipun tidak secara eksplisit mebahas tentang praktik good  governance, namun hasil penelitian dalam buku tersebut mengungkap banyak fakta tentang sulitnya membangun relasi yang setara antara sektor privat dan pemerintah. Relasi “politis” yang terjalin antara kedua aktor tersebut justru menempatkan pemerintah daerah (sebagai representasi dari negara) menjadi sub-ordinat dari kepentingan bisnis/pasar. Pada akhirnya yang terjadi adalah “State under controling by privat sector” atau bahkan “State Under Attack”.
Fakta yang terungkap dalam hasil penelitian tersebut menjadi sisi kelemahan dari rumusan-rumusan tentang tata kelola kepemerintahan dalam teori good governance. Meskipun sebagian kalangan berpendapat bahwa masalah yang muncul lebih disebakan oleh ketidak siapan struktural negara-negara dunia ke-tiga dalam menerapkan good  governance. Sebaliknya, penulis mencoba melihat persoalan tersebut dari persfektif yang berbeda, negara-negara maju dan kekuatan ekonomi global sepenuhnya telah gagal memperbaiki kesalahan dan menebus dosa yang telah mereka buat sendiri. Persoalan korupsi, ketidakjelasaan hukum,  mentalitas birokrasi dan aparat penegak hukum yang kian “bobrok”, lemahnya kekuatan dan posisi tawar preasure group (masyarakat marginal) dinegara-negara dunia ketiga termasuk Indonesia, harus dapat dilihat secara jeli sebagai beberapa dampak buruk yang terjadi dari hasil penerapan teori developmentalisme yang dulu merupakan teori yang dihembuskan oleh negara-negara maju dan kekuatan ekonomi global.
Sekaligus menguatkan pernyataan dari Presiden Tanzania yang dikutip di bab terdahulu, developmentalisme sebagai teori yang juga lahir dari kekuatan ekonomi global dan negara-negara maju dan telah diterapkan di Indonesia di kurun tahun 1960-an hingga 1990-an awal, disatu sisi sepenuhnya berhasil menjadi sarana perluasan area ekspansi kapital dan profit negara-negara maju serta kekuatan ekonomi global. Namun disisi lain sepenuhnya telah gagal karena membawa dampak destruktif kronik bagi sebagaian negara-negara dunia ketiga yang pernah menerapkannnya. Perlu digaris bawahi bahwa korupsi, kepemimpinan otoritarian, arogansi dan represifitas militer, termarginalkannya masyarakat akar rumput terjadi sebagai kosekuensi dari penerapan teori developmentalisme.
Dewasa ini lahir teori baru yang disebut good  governance. Di “puja” dan dipromosikan oleh sebagian kalangan akademisi dan elit yang melihat persoalan kebangsaan dalam persfektif yang sangat sempit,parsial dan “ceroboh”. Bukankah good  governance tidak lebih dari sekedar kelanjutan agenda besar kapitalisme dan imperialisme barat dalam melancarkan penjajahannya dan sekaligus menjadi “seperangkat alat” untuk memperbaiki dampak destruktif yang ditimbulkan oleh teori pembangunan yang  mereka terapkan sebelumnya?
Good  governance sepenuhnya telah gagal sebagai sebuah sarana “penebus dosa” negara-negara maju dan kekuatan ekonomi global yang telah membuat kerusakan akut di masa sebelumnya. Namun good  governance sebagai sebuah teori yang menjadi sarana keberlanjutan agenda penjajahan kaum neo-imperialis masih memiliki peluang yang sangat besar untuk berhasil diterapkan di Indonesia, mengingat tidak sedikit akademisi kita yang berlaku “ceroboh” dengan melegitimasi dan mempromosikan good  governance sebagai teori yang diyakini benar dan relevan.  “Cukupkan keterpesonaan kita terhadap Eropa” demikian Sam Ratoelangi mengingatkan kita sebagai sebuah bangsa yang sejatinya besar dan mandiri.
Akankah kedaulatan kita akan terus menerus di “rong-rong” oleh kepentingan asing? Menjawabnya adalah tugas dan tanggung jawab kita bersama.       
    






















BAB IV
GRASSROOTS  GOVERNANCE

A.    Grassroots  governance sebagai Altenatif

Apa yang dimaksud sebagai konsep grassroots  governance dalam makalah ini sama sekali bukan merupakan konsep penunjang dalam rangka optimalisasi penerapan good  governance. Grassroots governace yang dimaksud merupakan alternatif konsep tandingan yang coba diketengahkan penulis agar sekiranya dapat dikaji lebih serius dan mendalam.
“... namun apakah politik hukum yang dicanangkan dalam produk perundang-undangan itu (yang menjadi basis legitimasi dari berbagai kebijakan) telah memiliki legitimasi dari rakyat dalam pengertian konsensus mengenai tujuan dan cita-cita?” (Susanto Polamolo, 2013)
Kutipan diatas, menjadi pondasi dari konstruksi teori dan konsep grassroots  governance. Penegasan tentang posisi rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam proses serta dinamika politik dan pembangunan adalah capaian utama yang disasar oleh gagasan-gagasan grassroots  governance.
Oleh karenanya grassroots  governance dapat dilihat sebagai upaya sekaligus sarana menuju terciptanya demokrasi partisipatif yang menyentuh hingga ranah substansial. Demokrasi yang dalam pelaksanaannya melibatkan rakyat dan menjadikan kehendak sosial kolektif sebagai referensi utama.
Selain itu, satu hal yang tidak kalah pentingnya adalah posisi kebudayaan dalam konstruksi teori dan konsep grassroots  governance. Sebagai paripurna tertinggi dari dasar negara, kebudayaan harus menjadi bagian penting yang tidak terpisahkan dari sistem politik, sistem ekonomi dan sistem hukum. Hal ini penting, agar keseluruhan proses dan aktivitas yang terjadi dalam sistem tidak “mendegradasi” kearifan budaya dan nilai-nilai yang berkembang dimasyarakat.
Dalam tataran sistem politik, penerapan grassroot  governance harus mampu mendorong proposisi tata kelola kepemerintahan yang berbasis rakyat, baik melalui mekanisme kemitraan maupun pendelegasian wewenang dan otoritas dalam hal perencanaan, pengambilan keputusan, pelaksanaan hingga tataran evaluasi dari pemerintah pusat dan daerah kepada simpul-simpul komunitas lokal. Sehingga produk perundang-undangan yang dikeluarkan serta kebijakan-kebijakan yang dihasilkan tidak lagi didasarkan pada asumsi pihak tertentu terhadap permasalahan dan kebutuhan masyarakat. Seperti halnya yang terjadi dalam pelaksanaan teory good  governance yang dilandaskan pada asumsi lembaga-lembaga donor international atas kondisi, persoalan, kebutuhan serta jalan solusi yang seharusnya ditempuh oleh masyarakat-masyarakat di negara dunia ke-tiga.
Dalam penerapannya, framework sistem politik dan tata kelola kepemerintahan  yang dibangun oleh grassroots  governance, lebih kurang senada dengan apa yang disampaikan oleh Abraham Lincoln tentang demokrasi : “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”. Namun penegasan kadaulatan rakyat harus dapat disama-artikan dengan penegasan kedaulatan negara. Perluasan otoritas dan wewenang yang diberikan kepada civil society (rakyat) tidak sama dengan “pelemahan” otoritas dan fungsi negara.[20]
Negara dalam fungsi dan perannya yang vital harus tetap berjalan sebagaimana mestinya. Terutama dalam kaitannya dengan penjaminan hal-hal yang berkitan dengan hak-hak dasar dan hajat hidup orang banyak tanpa menimbulkan afek dependensi (ketergantungan). Penjaminan hak-hak dasar tentu saja tidak harus kemudian diterjemahkan dalam bentuk kebijakan-kebijakan karikatif, namun dikemas dalam bentuk kebijakan yang dapat menjadi triger munculnya keswadayaan dan kemandirian rakyat.
Grassroots governace dalam sistem ekonomi, diterapkan sebagai sebuah sistem yang dapat menunjang penguatan simpul-simpul kekuatan ekonomi rakyat melalui peningkatan daya produksi kolektif sebagai sarana pemenuhan kebutuhan bersama. Perekonomian harus dapat dilihat sebagai salah satu bentuk ekspresi sosialitas, hubungan simbiosis-mutualistik menuju perwujudan relasi yang harmonis. Hal ini hanya dapat diwujudkan dengan mengaktifkan nilai-nilai lokal yang cendrung mengarah kepada kolektivisme (baca: kebersamaan dan kerukunan). Setiap beban dan persoalan pemenuhan kebutuhan harus dapat dimaknai sebagai beban dan persoalan bersama yang akan lebih mudah jika diselsaikan dengan jalan “gotong royong”.
Dalam sistem hukum, teori dan konsep grassroots goverenance harus dapat dimaknai dan diterapkan dalam rangka memformat sistem tata kelola kepemerintahan sehingga menjamin ketersedian ruang partisipasi yang memadai bagi masyarakat. Selain menyediakan mekanisme dan ruang partisipasi, sistem hukum juga harus mampu menciptakan perlindungan hukum terhadap aktivitas partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat. Kontrol dan pengawasan yang kuat terhadap perilaku elite dan birokrasi lokal juga merupakan bagian penting yang harus diperioritaskan dalam sistem hukum.
Mengenai kaitannya dengan sistem ekonomi, sistem hukum yang berbasis grassroots  governance harus dapat berperan sebagai landasan normatif yang menjamin pemberdayaan ekonomi rakyat, memberikan proteksi dari persaingan bebas dalam pasar yang sering kali tidak adil dan tidak seimbang.
Grassroots Governance bermaksud menjadikan rakyat sebagai subject sekaligus object dalam pembangunan. Di titik itulah rakyat memiliki hak untuk “melaksanakan” sekaligus berkewajiban untuk “mempertanggung jawabkan” arah, jalan dan proses pembangunan yang berlangsung. Kesemuanya tentu saja didasarkan pada upaya pemenuhan kepentingan dan kebutuhan bersama serta dilandasi oleh kearifan nilai moral dan budaya.




















BAB V
KESIMPULAN

Good  governance adalah sebuah gagasan tentang teory tata kelola kepemerintahan dan pembangunan yang didasarkan pada perinsip-perinsip yang terkandung dalam ideologi Ordo-liberal. Ideologi ini lahir dalam gagasan-gagasan yang lebih “ramah” dari pada neo-liberalisme, namun dalam tujuan yang sama yakni melanjutkan agenda imperialisme ekonomi “barat” terhadap negara-negara berkembang.
Letak kesalahan yang paling mendasar dari para penganut Ordo-liberal adalah meyakini bahwa rekayasa kondisi sosial melalui jalur kebijakan sosial dapat merubah iklim pasar yang kompetitif-individualistik menjadi iklim pasar yang lebih “hangat” dan kental akan unsur-unsur nilai moral dan budaya.
Karakteristik dasar “pasar” yang sepenuhnya kompetitif, individualistik, dan “dingin” tidak akan dapat ditutupi melalui rekayasa kebijakan sosial. Pasar dalam pemahaman sempit kelompok liberal yang diartikan sebagai sarana pemenuhan kebutuhan pribadi dan akumulasi keuntungan belaka, akan selamanya berwatak eksploitatif, kompetitif dan individualitik, dimana realitas tersebut sama sekali bertentangan dengan apa yang terkandung dalam nila-nilai moral dan kebudayaan masyarakat timur.
Mengubah karakteristik (sifat alamiah) “pasar” hanya dapat dilakukan dengan cara “menggeser” (mengubah) secara radikal pemahaman dasar manusia tentang “pasar” (aktivitas ekonomi) itu sendiri. Pasar tidak boleh lagi dipahami semata-mata hanya sebagai sarana pemenuhan kebutuhan peribadi dan sarana melipat-gandakan modal (profit oriented) bagi segelintir pihak saja, namun harus dilihat sebagai sarana pemenuhan kebutuhan kolektif (bersama) dimana individu satu dan individu yang lain terkoneksi dalam relasi yang simbiosis-mutualistik.
Sementara itu, dalam rangka “me-negasi” watak ekonomi manusia yang eksploitatif, manusia harus merubah pemahaman fundamental tentang konsep “manusia” itu sendiri (back to the think them self). Manusia semestinya tidak dilihat sebagai “homo homini lupus”, sebagai salah satu jenis hewan bertulang belakang dengan tingkat intelektualitas paling tinggi namun di dilain sisi memiliki “animal instinct” yang kuat. Namun manusia harus mampu dilihat sebagai mahluk yang memiliki unsur nilai dan moral dalam dirinya sebagai capaian dari evolusi peradaban yang telah dilaluinya. Lebih penting dari itu adalah manusia harus dipahami sebagai mahluk yang memiliki cita-cita dan harapan ( sehingga mampu merencanakan dan memproyeksikan) masa depannya sendiri. Dengan demikian manusia akan mampu “menyesuaikan diri” (menekan instink kebitanagan yang cendrung buas),  dalam rangka membangun tatanan masa depan dunia yang lebih baik dimana manusia yang satu dengan manusia yang lain terkoneksi dalam relasi yang harmonik bukan eksploitatif.
Selain uraian diatas, kesulitan penerapannya dalam ranah kongkrit menunjukkan sisi kelemahan dari rumusan-rumusan tentang tata kelola kepemerintahan dalam teori good governance. Hal ini disebabkan oleh banyak hal, diantaranya adalah ketidaksesuainnya dengan kondisi sosio-kultural serta kondisi politik dan ekonomi dibeberapa negara dunia ke-tiga yang terlampau kronis paska penerapan teori developmentalisme.
Hal terpenting yang coba dikemukakan dalam makalah ini adalah menganai agenda-agenda terselubung di balik teori good governance. Beberapa uraian mengenai hal tersebut telah dikemukakan secara terpisah di bab-bab sebelumnya.
Bab kesimpulan tidak akan mengurai kembali hal-hal yang telah dikemukakan sebelumnya. Bab ini memuat kesimpulan dalam bentuk skema kronologis tentang good  governance. Serta skema tentang grassroots  governance yang menjadi konsep alternatif.











                                                    




































DAFTAR PUSTAKA

Ade Chandra Dkk, Manifesto pembaharuan desa, APMD Press, Yogyakarta, 2005.
Adam Kuper & Jesica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, PT Raja Grafindo Persada,     Jakarta, 2000
Affan Gaffar, Politik Indonesia Transisi menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2006.
Bagus Aryo, Tenggelam dalam Neo-liberalisme,
Francis Fukuyama, Trust, Qalam, Yogyakarta, 2002
Khairul Muluk, Menggugat Partisipasi Publiuk Dalam Pemerintahan Daerah (Sebuah
Kajian dengan Pendekatan Berpikir Sistem), Bayumedia, Malang, 2007.
L. Laeyendecker, Tata, Perubahan, dan Ketimpangan; Suatu pengantar sejarah sosiologi,
            PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991.
Lusia Indrastuti & Susanto Polamolo, Hukum Tata Negara dan Reformasi Konstiutusi
di Indonesia “Refleksi Proses dan Prospek di Persimpangan”, Total media, Yogyakarta, 2013
Susanto Polamolo, Sebuah Eksampelar Otonomi Daerah ( Membumikan “Grassroots                    governance” dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia), 2013
Samuel P.  Huntington, The Clash of Civilization, Qalam, Yogyakarta, 2005





1)       Developmentalisme merupakan teori dan konsep pembangunan yang di promosikan oleh negara-negara maju melalui lembaga-lembaga international seperti IMF, World Bank dan UNDP untuk diterapkan di negara-negara berkembang. Menitik beratkan pada percepatan pertumbuhan ekonomi makro dan pembangunan sektor industri (giant factory). Teori ini digunakan Indonesia pada masa kepemerintahan Orde Baru. Penerapannya mesyaratkan stabilitas politik dan keamanan, dimana hal ini kemudian diyakini sebagai salah satu penyebab terbentuknya pola kepemerintahan dan mekanisme pembangunan yang sentralistik dan cenderung otoriter.
2)       Trickle down effect atau disebut efek menetes kebawah ; sebuah mekanisme pemerataan hasil pembangunan dengan mengandalkan side efect dari pertumbuhan ekonomi diskala makro dan kemajuan sektor industri. Hal ini merupakan mekanisme penunjang dari teori developmentalisme, yang pada akhirnya terbukti gagal dalam menangani kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat bawah. Mekanisme “efek menetes kebawah” ini didasarkan pada logika bahwa peningkatan pertumbuhan ekonomi di skala makro akan diikuti dengan pertumbuhan disektor mikro dan pemerataan hasil pembangunan melalui “tetesan” surplus ( nilai lebih ). Aksi protes dan ketidakpercayaan publik terhadap keberhasilan trickle down effect kala itu, mengundang respons represif dari pemerintah dan aparat.
3)       Dinamika dan konstalasi politik yang terjadi menjelang akhir kepemerintahan Orde-baru yang identik dengan represifitas dan gaya kepemimpinan yang otoriter, menyisakan semacam “trauma kolektif”. Liberalisasi politik (demokratisasi) yang diusung oleh good governance menjadi sebuah gagasan yang lebih masuk akal. Tawaran-tawaran dalam rumusan good governance seolah menjawab kekhawatiran masyarakat akan kemunculan kembali negara dan militer yang represif dan cenderung menindas.
4)       Prediksi futuristik ; istilah yang digunakan penulis untuk menangkap gambaran-gamabaran mengenai ramalan masa depan dari beberapa pemikir dan akdemisi tentang berbagai kemungkinan yang terjadi di beberapa puluh tahun kedepan jika good governance dapat diterapkan dengan baik di Indonesia. Lihat juga artikel Jawa Pos edisi 14 Desember 2013.
5)       Lihat karya-karya Michel Foucault (1926-1984)
6)       Ordo-liberal merupakan pengembangan dari neo-liberal. Ordo-liberal memiliki pandangan anti naturalistis yang radikal atas pasar dan prinsip persaingan. Pandangan anti naturalistis menegaskan bahwa konstruksi tatanan ekonomi tidak dapat diserahkan kepada perilaku alamiah pasar, tapi harus diciptakan oleh negara melalui kebijakan yang berbasis aturan yang konsisten (Peacock & Willgerodt, 1989). Kompetisi bukanlah sesuatu yang ada secara “alamiah” tetapi menjadi bagian dari intervensi negara untuk membangun suatu tatanan ekonomi yang kompetitif (Lemke, 2001).
7)       Metamorfosis; istilah yang digunakan penulis dalam menggambarkan proses perkembangan ideologi neo-liberalisme, dimana terjadi revisi sekaligus pengembangan/pembaruan tentang gagasan dan ide-ide dasar yang menyangkut berbagai aspek (konsep dan teori) yang menjadi sarana pemenuhan kepentingan penganut ideologi neo-liberal. Metamorfosis ini dilakukan melalui kajian dan kerja-kerja keilmuan serius. Salah satu Universitas yang dengan serius dan konsisten melakukan hal tersebut adalah Chicago University, United State of America.
8)       Mazhab Chicago; adalah salah satu bentuk pengembangan dari neo-liberalisme
9)       Liberalisme merupakan ontology dari neo-liberalisme. Meskipun neo-liberalisme tidak hanya lahir sebagai pengembangan dari liberalisme, namun juga lahir sebagai kritik dan revisi dari ideologi liberalisme. Dalam beberapa hal bisa saja keduanya sangat bertentangan.
10)   Hidden Agenda ; Agenda atau kepentingan-kepentingan negara-negara maju dan multy national coorporate di balik teori/konsep good governance. Sejauh ini masih berkaitan dengan pengaktifan mode “pasar” di negara-negara dunia ke-tiga. Dalam pandangan negara-negara maju, negara-negara dunia ketiga tetap dilihat sebagai area ekspansi modal sekaligus pangsa pasar yang menjanjikan.
11)   Apa yang diharapkan ordo-liberal mengenai fungsi kebijakan sosial, dalam praktiknya lebih nampak sebagai sesuatu yang utopis. Mengubah sifat/karakteristik dasar pasar yang identik dengan relasi kompetisi individualistik menjadi sesuatu yang kental dengan unsur nilai-nilai moral dan budaya tentu saja tidak dapat dilakukan melalui jalur kebijakan sosial.
12)   Capacity: dapat diartikan sebagai kemampuan negara-negara berkembang untuk mengimbangi pengaruh pasar. Disatu sisi pasar menyediakan peluang, namun dalam bentuknya yang lain pasar dapat menjadi sarana eksploitatasi sumber daya dan manusia. Takaran paling mudah untuk mengukur capacity (kemampuan) negara dalam mengimbangi dampak yang ditimbulkan pasar adalah sejauh mana negara mampu melindungi segenap kedaulatannya, menjamin hak-hak dasar warganya, memberikan proteksi sekaligus peningkatan kapasitas bagi “yang lemah” melalui produk perundang-undangan dan kebijakan-kebijakan.
13)   Istilah ini digunakan untuk menggambarkan pemahaman dasar kelompok liberal tentang konsep manusia. Kelompok liberal menganut teori tentang manusia yang ditulis oleh Thomas Hobes, yang lebih dikenal dengan istilah “homo homini lupus”.
14)   Enterprise Society : istilah yang menggambarkan tentang masyarakat yang berorientasi pada pasar, memiliki kemandirian dan kapasitas yang memadai untuk dapat mengimbangi dampak-dampak dari pasar atas nilai-nilai dan keberadaannya.
15)   Economic Anthropology : adalah salah satu jenis disiplin ilmu tentang ekonomi dari sudut pandang antropologi.
16)   Istilah yang diperkenalkan oleh Sam Ratoelangi dalam sebuah artikel berjudul “Minahasa Culture and Tradition” yang dimuat di Fikiran Rakyat, 31 Mei 1930. Artikel tersebut merupakan kelanjutan dari pidato yang beliau sampaikan ketika dilantik menjadi ketua Indische Vereniging (Perhimpunan Indonesia) di Belanda pada tahun 1914-1915. Adapaun makna dari istilah “Sitou Timou Tumou Tou” ialah manusia yang memanusiakan manusia.
17)   Wakil ketua II CC PKI pada periode kepemimpinan DN Aidit. Beliau adalah seorang tokoh pemikir yang konsisten mendorong upaya pemecahan masalah-masalah kebangsaan dengan cara yang mandiri. 
18)   Elite ekonomi lokal yang dimaksud adalah para pelaku bisnis besar yang menguasai pasar lokal. Dengn kekuatan ekonomi yang dimiliki memungkinkan mereka untuk mengintervensi kebijakan-kebijakan hukum dan politik.
19)   Lihat juga “Menggugat Partisipasi Publik dalam Pemerintahan Daerah (Sebuah Kajian dengan Pendekatan Berpikir Sistem)”, karya Dr. M.R Khairul Muluk, M.Si. .
20)   Lihat “Community Development, (Akankah Lahir Antitesisnya”) Karya : Dr. Soetomo

4 comments:

  1. Kajiannya cukup ilmiah dan membuat kepala saya sedikit pusing. Tetapi patut diapresiasi sebagai bentuk sikap kritis atas hegemoni pemikiran barat. saya rasa ini sejalan dengan Soekarno yang sangat tidak menghendaki penjajahan, termasuk penjajahan pemikiran. Merdeka....!

    ReplyDelete
  2. Kritiknya? masukan tentang grassroots governance

    ReplyDelete