DESEMBER , 2013
State Under Attack
|
“Good governance”
Is there any hidden
agenda?
|
Imam Sutrisno
Sumbawa, 23 Juni
1988
Alamat Rumah :
Jl. Bimokurdo
No.349
Sapen-Yogyakarta
Hp : 087836666685
E-mail : delete23photo@gmail.com
|
MAHASISWA ( S1)
JURUSAN ILMU
SOSIATRI
SEKOLAH TINGGI
PEMBANGUNAN MASAYARAKAT DESA “APMD” YOGYAKARTA
|
Makalah
ini memuat tinjauan akademik tentang konsep dan praktek konsep Good governance
di Indonesia. Menggunakan kajian pustaka dan hasil penelitian terkini yang
terkait dengan landasan ontologi
serta praktek Good governance sebagai pijakan analisis.
Terbagi
menjadi lima bab, bab pertama membahas tentang landasan ontologi dari konsep good governance serta menyoal kesesuaiannya
dengan landasan konstitusional Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bab
ke dua, berisi kajian kritis terhadap ideologi Ordo-liberal dari sudut pandang keilmuan economic antropology, Bab tiga memaparkan hasil penelitian di Kota
Malang beserta kesimpulan penulis. Bab empat memuat analisis komparatif good
governance dengan konsep alternatif
pembanding yang diambil dari
makalah berjudul “Sebuah Eksampelar Otonomi Daerah ( Membumikan “Grassroots
governance” dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia)”, Karya
Susanto Polamolo. Kemudian di bab terakhir berisi kesimpulan.
BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
- Kerangka
Berfikir
Sama halnya
dengan teori developmentalisme[1], Teori Good governance merupakan teori tentang tata
kelola kepemerintahan dan pembangunan yang dipromosikan oleh negara-negara maju
melalui UNDP, World Bank dan IMF untuk diterapkan dinegara-negara berkembang
termasuk Indonesia.
Setelah teori
sebelumnya (developmentalisme) mulai digugat oleh banyak pihak karena tidak kunjung
mampu menyelesaikan persoalan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan melalui
mekanisme yang disebut trickle down
effect[2],
munculah beberapa tawaran alternatif teori pembangunan lain yang lebih
mengedepankan pemberdayaan dan partisipasi.
Teori good
governance adalah salah satu alternatif dari sekian banyak pilihan
yang mengusung semangat pemberdayaan dan partisipatoris. Lebih jauh mengkaji
tentang teori good governance, ternyata teori ini tidak
hanya muncul dengan mengusung dua semangat tersebut (pemberdayaan dan
partisispasi). Namun teori ini muncul sebagai sebuah tawaran sistem yang
komprehensif dan seolah-olah sangat relevan dengan kebutuhan kondisi negara-negara
berkembang yang memerlukan perbaikan serius di banyak aspek. Secara garis besar
good
governance menyediakan seperangkat konsep baru tentang tata kelola
kepemerintahan, demokratisasi, serta penguatan sektor privat (market) dan civil society.
Sepintas, teori good
governance nampak sebagai sebuah gagasan baru yang relevan dengan
konteks kekinian di Indonesia. Jargon demokratisasi dan penguatan civil society melalui konsep
pemberdayaan dan partisipasi yang diusungnya, seperti menjadi jalan keluar dari
kompleksitas persoalan yang tengah melanda dan sekaligus menjadi “ramuan
penawar atas trauma kolektif”[3]
yang terjadi pada masa rezim otoriter Orde Baru. Oleh karenanya tidak heran
apabila teori ini menjadi kajian yang cukup populer dikalangan akademisi.
Bahkan sebagian dari akademisi diberbagai kampus telah melegitimasi teori good
governance dan kemudian dipromosikan dalam ruang-ruang perkuliahan
sebagai gagasan dan teori yang dianggap relevan untuk diterapkan di Indonesia.
Mengenai
relevansi sebuah teori, tentu saja diperlukan kajian-kajian yang mendalam untuk
memastikannya. Tidak hanya kesesuaiannya dengan kondisi sosio-kultural dimana
teori tersebut akan diterapkan, lebih penting dari hal itu adalah mengkaji
lebih jauh landasan ontologis, sejarah kelahiran serta model konstruksi masa
depan yang terproyeksi melalui prediksi futuristik[4]
yang dijanjikan tercapai oleh teori tersebut. Apalagi jika teori yang dimaksud
menyangkut teori tata kelola kepemerintahan dan pembangunan dalam arti yang
luas, melegitimasi dan menerapkannya harus diimbangi dengan kesiapan untuk
menerima- atau kemampuan mengatasi jika ternyata tidak sesuai dengan harapan -
segala bentuk konsekuensi logis yang akan muncul dikemudian hari.
Menyelidiki
tingkat relevansi, mengkaji landasan ontologi dan mencoba melakukan prediksi
atas dampak yang mungkin saja muncul dari penerapan sebuah teori, selain
merupakan bentuk aktivitas kajian kritis akademik, juga merupakan sebuah upaya
antisipatif terhadap dampak negatif yang mungkin saja muncul ketika teori
tersebut diterapkan dalam ranah kongkrit. Kita tentu saja tidak ingin mengulang
“kekacauan” yang terjadi di masa kepemerintahan Orde Baru, dimana teori
developmentalisme yang sebelumnya dianggap “baik” ternyata mendatangkan
persoalan yang sangat kompleks.
Selanjutnya
penulis akan berupaya melakukan pengkajian akademik tentang landasan ontologi
dan praktek good governance di Indonesia. Serta menakar
kesesuaiannya dengan salah satu landasan konstitusi kita yaitu pasal 33
Undang-undang Dasar 1945.
Adapun kerangka teoritis yang digunakan sebagai
dasar analisis adalah pemahaman bahwa teori lebih dari sekedar metodologi.
Teori menyediakan pedoman tentang bagaimana melakukan penelitian, untuk membuat
“apa yang terjadi di latar sosial yang sedang dipelajari” masuk akal (Mills,
1993, hal. 103) dan juga menyediakan “sebuah kerangka untuk mendekati persoalan
dan pertanyaan” (Mills, 1993, hal. 114). Selain itu makalah ini menggunakan
kerangka teori governmentality[5],
yang berasal dari karya-karya Michel Foucault (1926-1984).
- Good governance sebagai cara
kerja Ordo-liberal[6]
Good governance secara umum
dapat diartikan sebagai sebuah teori yang menghendaki terciptanya relasi yang
sejajar antara tiga aktor yang dianggap penting dalam pengelolahan dan
pembangunan sebuah negara, yakni state (negara), privat sector/market (sektor
usaha/pasar) dan civil society
(masyarakat). Peran aktif dari
ke-tiga aktor tersebut diyakini dapat mendorong terciptanya sebuah kondisi yang
ideal. Argumentasinya adalah dengan good governance maka distribusi anggaran
pemerintah dan kalangan bisnis kepada masyarakat miskin makin terbuka lebar
(Renzio, 1997).
Dalam rumusan teori good governance,
optimalisasi peran negara sebagai organisasi yang menyediakan
perangkat-perangkat kebijakan guna menciptakan kondisi yang menunjang penguatan
sektor privat akan diikuti oleh penguatan civil society sebagai dampak
implisitnya.
Komunitas Eropa merumuskan good governance sebagai
pengelolaan kebijakan sosial ekonomi yang masuk akal, pengambilan keputusan
yang demokratis, transparansi pemerintahan dan pertanggungjawaban finansial
yang memadai, penciptaan lingkungan yang bersahabat dengan pasar bagi
pembangunan, langkah-langkah untuk memerangi korupsi, penghargaan terhadap
aturan hukum, penghargaan terhadap HAM, kebebasan pers dan ekspresi. Sedangkan
UNDP (1997) memberi pengertian good governance sebagai sebuah konsensus yang
dicapai oleh pemerintah, warga negara dan sektor swasta bagi penyelenggaraan
pemerintahan dalam sebuah negara.
Penulis akan menganalisis dua variabel pokok dalam
teori good governance untuk dapat melacak landasan
ontologi yang digunakan. Pertama tentang optimalisasi peran negara untuk
menciptakan lingkungan yang bersahabat dengan pasar, kedua adalah tentang
kedudukan privat sector/market yang
disejajarkan dengan negara dan civil
society.
Sebagian kalangan berpendapat bahwa good
governance merupakan teori yang lahir dari ideologi neo-liberal. Namun
perlu diketahui bahwa dalam perkembangannya, neo-liberal mengalami metamorfosis[7]
yang berpengaruh pada perubahan gagasan dan ide-ide dasarnya dalam konteks
rumusan tata kelola kepemerintahan dan struktur pembangunan global (yang
meskipun tetap berorientasi “pasar”). Setidaknya ada dua bentuk metamorfosis
terbaru neo-liberal yang dapat terdeteksi dari kajian pustaka yang dilakukan
penulis. Pertama hasil metamorfosis yang dinamakan Ordo-liberal dan yang kedua hasil metamorfosis yang dikenal dengan
sebutan Mazhab Chicago[8].
Salah satunya (Ordo-liberal),
merupakan landasan ontologi dari good-
governance.
Untuk menguatkan hipotesis penulis mengenai landasan
ontologi dari teori good governance, kita akan menyelami good
governance dengan menggunakan kerangka teori governmentality yang merupakan hasil karya Michel Foucault. Berikut
beberapa analisis dari kerangka teori governmentality
:
Dalam penjelasan Foucault tentang liberalisme[9]
(baca : induk dari Ordo liberal dan Mazhab Chicago), bahwa “liberalisme cenderung
memiliki laku refleksi kritis pada praktik pemerintahan”. Lebih jauh dengan
menggunakan konsep governmentality Faucoult menyajikan sudut pandang yang
berbeda untuk analisis politik-kritis atas neo-liberalisme dan dampaknya (Dean,
1999; Gordon, 1991; Lazzarato, 2005; Lemke, 2001; Rose, 1996a dalam Bagus Aryo
2012).
Faucoult menunjukkan bahwa sampai dengan abad ke-18
perihal pemerintahan ditempatkan dalam konteks yang lebih umum (1997b).
“Pemerintahan” adalah istilah yang dibahas tidak hanya dibidang politik tetapi
juga didalam teks-teks filosofi, agama, medis, dan pedagogis. Faucoult
mendefinisikan pemerintah sebagai perilaku, atau lebih tepatnya “perilakunya
perilaku” (the conduct of conduct)
(Foucault, 1982, hal. 220-221; Gordon, 1991, hal., 2), sebuah istilah yang
memuat dari praktek “mengatur diri” hingga “mengatur orang lain” (Lemke, 2001).
Definisinya lebih luas dari sekedar pengelolaan negara, karena merangkum pula
masalah pengendalian diri, bimbingan bagi keluarga dan anak-anak, pengendalian
jiwa, dan lain-lain (Foucault, 1997b). Konsep pemerintahan dapat digunakan
untuk menyusun kemungkinan-kemungkinan bertindak, dan untuk menata
kondisi-kondisi atau mengatur benda-benda hingga individu, kelompok, atau
orang-orang dapat dituntut untuk “berprilaku seperti seharusnya” dengan
cara-cara yang telah diperhitungkan (Bagus Aryo, 2012).
Dalam praktiknya, governmentality berkaitan dengan mengelola, mendisiplinkan, dan mengatur
individu, populasi, serta ruang sosial dalam rangka mempertahankan dan
mengoptimalkan kondisi-kondisi kehidupan. Ia beroperasi dengan mengidentifikasi
anomali atau kekurangan, dan berusaha untuk “mengoreksinya” melalui intervensi
yang direncanakan (Bagus Aryo, 2012).
Malley dkk (1997, dalam Bagus Aryo 2012),
berpendapat bahwa salah satu prinsip governmentality
yang paling mendasar adalah penolakan terhadap penyamarataan pemerintah dengan
negara. Yang tak kalah penting adalah adopsi strategis teoritis dimana
kekuasaan dilucuti menjadi rasionalitas politik, program-program pemerintah,
serta teknologi dan teknik pemerintahan.
Paparan tentang governmentality
diatas, mengungkap keterkaitan langsung antara good governance dengan neo-liberalisme
dan/atau berbagai macam bentuk metamorfosis dan bentuk pengembangannya. Poin
keterkaitannya terletak pada bagaimana liberalisme meletakkan ide-ide dasar
mengenai pemerintahan beserta tata kelolanya sebagai hasil dari laku refleksi
kritis terhadap pemerintahan seperti yang dimaksudkan Foucault di pemaparan
terdahulu. Good Governance merupakan
salah satu wujud dari rasionalitas politik, teknologi atau teknik
kepemerintahan yang dimaksud. Hal penting yang perlu diungkap adalah,
kepentingan (hidden agenda)[10]
dibalik kerja-kerja keilmuan serius yang dilakukan kaum neo-liberalisme dalam
merumuskan konsep pemerintahan.
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, good
governance dalam kaitannya sebagai hasil kerja keilmuan Ordo-liberal, perlu dipahami sebagai
sebuah teori baru yang menyangkut tata kelola kepemerintahan dan pembangunan.
Dimana teori ini kemudian dipromosikan oleh negara-negara maju melalui beberapa
lembaga internasional seperti UNDP, IMF dan World Bank.
Melalui teori good governance, negara-negara berkembang
digiring sedemikian rupa untuk menggeser perinsip-perinsip dasar tentang negara
dan kepemerintahan. Konsep government
bergeser ke konsep governance yang memposisikan negara
sebatas menjadi sub-ordinat kekuatan ekonomi global serta menjembatani
kepentingan siklus modal negara-negara maju.
Tugas utama pemerintah ( governance) dalam konsep teori good governance adalah menyusun
kemungkinan-kemungkinan bertindak, dan untuk menata kondisi-kondisi atau
mengatur benda-benda hingga individu, kelompok, atau orang-orang dapat dituntut
untuk “berperilaku seperti seharusnya” dengan cara-cara yang telah
diperhitungkan (Bagus Aryo, 2012).
Beranjak pada uraian inti dalam sub-bab ini, yaitu
pembahasan tentang Ordo-liberal.
Dasar-dasar teoritis dan pemikiran Ordo-liberal
terletak pada pandangan anti naturalistis mereka yang radikal atas pasar dan
prinsip persaingan. Pandangan anti naturalistis menegaskan bahwa konstruksi
tatanan ekonomi tidak dapat diserahkan kepada perilaku alamiah pasar, tapi
harus diciptakan oleh negara melalui kebijakan yang berbasis aturan yang
konsisten (Peacock & Willgerodt, 1989). Kompetisi bukanlah sesuatu yang ada
secara “alamiah” tetapi menjadi bagian dari intervensi negara untuk membangun
suatu tatanan ekonomi yang kompetitif (Lemke, 2001).
Sedikit uraian mengenai Ordo-liberal dalam paragraf diatas, merupakan landasan berfikir
sekaligus argumentasi teoritik yang digunakan oleh teori good governance atas
rumusan-rumusannya menyangkut tata kelola kepemerintahan dan pembangunan
masyarakat. Oleh karenanya, perlu dipahami secara kritis bahwa gagasan-gagasan
utama good governance tentang change political organitation, the representation of interest, and processes debate and policy
decision-making (Edward S. Mason, 2002), rule of law, transparancy, responsiveness, consensus orientation,
equity, effectiveness and efficiency, accountability, strategic vision (Harianto
Usia, 2012), semata-mata dalam kepentingan memformat situasi dan kondisi sosial
agar lebih bersahabat dengan pasar.
Hal tersebut menjadi lebih jelas dalam penguraian Foucault
tentang dua fungsi kebijakan sosial dalam pemahaman Ordo-liberal. Menurut Foucault, kebijakan sosial memiliki dua
fungsi. Yang pertama adalah fungsi yang didasarkan pada prinsip
“ketidaksetaraan yang merata untuk semua” (Lemke, 2001, hal. 195 dalam Bagus
Aryo 2012). Kebijakan sosial harus menjadi kendaraan untuk melipatgandakan dan
mengembangkan bentuk-bentuk kewirausahaan didalam masyarakat (Lemke, 2001 dalam
Bagus Aryo 20012). Dengan demikian, kebijakan sosial menciptakan model hubungan
sosial per se dari mekanisme ekonomi
yang berupa penawaran dan permintaan, persaingan, dan sebagainya. Kemudian,
kebijakan sosial juga harus memproduksi atau mengaktifkan “kehangatan”
nilai-nilai moral dan budaya pasar yang tidak identik dengan “dinginnya” mekanisme
kompetisi[11]
(Faucoult, 2008, hal. 242 dalam Bagus Aryo, 2012).
Fungsi kedua, kebijakan sosial menjadi alat
intervensi sosial untuk mendukung fungsi pertama. Fungsi ini adalah bagian
penting dari lembaga ekonomi sekaligus instrumen yang tak terpisahkan untuk
menciptakan dan mengamankan perwujudan kewirausahaan dalam masyarakat.
Masyarakat mandiri (enterphrise society)
yang dibayangkan oleh Ordo-liberal
adalah “masyarakat yang ada untuk pasar dan masyarakat yang menghadapi pasar,
masyarakat yang berorientasi pada pasar dan masyarakat yang mengimbangi
akibat-akibat yang ditimbulkan pasar bagi nilai-nilai dan keberadaannya”
(Faucoult, 2008 dalam Bagus Aryo 2012).
Gambaran-gambaran penguraian tentang Ordo-liberal sangat identik dengan pola
tata kelola kepemerintahan dan pembangunan masyarakat yang di usung oleh teori good
governance. Format relasi yang menyetarakan antara tiga aktor
penting dalam rumusan good governance (state, privat sector dan civil society) mengindikasikan kuatnya
unsur kerja-kerja logika pasar dalam teori good governance.
Governance merupakan
konsep perbaikan tata pemerintahan yang di susupi oleh kepentingan ekonomi,
jika di kaji lebih jauh tentang pilar governance itu sendiri yang terdiri dari
tiga aktor utama yakni negara, masyarakat dan swasta (pasar), maka terlihat
jelas bahwa kepentingan ekonomi bermain pada ranah swasta. Negara di haruskan
untuk membuat kebijakan dan menguatkan peran swasta dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Lebih jauh peran pasar tersebut di terjemahkan oleh lembaga IMF
dan Bank Dunia dengan paket kebijakan di antaranya, pelaksanaan kebijakan
anggaran yang ketat termasuk penghapusan subsidi negara dalam berbagai
bentuknya, pelaksanaan liberalisasi sektor keuangan, liberalisasi sektor perdagangan
(pasar bebas), dan privatisasi BUMN. Dengan demikian negara berkembang dan
negara miskin akan semakin di miskinkan dengan kebijakan ini karena tidak
memiliki capacity[12]
yang memadai untuk memproteksi lajunya bencana ekonomi yang di bungkus dalam
kemasan perbaikan tata pemerintahan (Hariyanto Usia, 2012).
Edward S. Mason menyampaikan bahwa, “Good
governance is aloudable goal. Strong and compelling reasons can be
advanced to demonstrate how important it is to the development process in
general and the reduction of poverty and particular. Yet, for many countries, and particularly for the poorest, good
governance is a distant
possibility. More to the point, in being encouraget to seek this laudable
goal, countries that suffer from weak or nonexistance institutions, inefficient
organization, and poorly developed human resources are likely to be overhelmed
by all the things that “must be done” to archiev it.
Berdasarkan
uraian-uraian tersebut diatas, penulis kemudian mengambil dua kesimpulan dalam
bab ini. Kesimpulan pertama tentang Good governance sebagai konsep teori yang
lahir dari paham Ordo-liberal.
Kesimpulan kedua, good governance sebagai sebuah teori yang
lebih memprioritaskan kepentingan pasar sehingga dalam beberapa aspek
melemahkan fungsi serta kedaulatan negara, oleh karenanya teori good
governance kontradiktif dengan landasan konstitusional Indonesia
yakni pasal 33 Undang-undang Dasar 1945.
BAB
II
KRITIK
IDEOLOGI
- Ekonomi
Pasar dan Konsep “Manusia Serigala”[13]
“
Good governance tidak lebih sebagai
konsep imperialis dan kolonialis. Good
governance hanya akan mengerdilkan struktur negara berkembang, sementara
kekuatan bisnis dunia makin membesar”, pernyataan Presiden Tanzania Julius K.
Nyerere di depan Konferensi PBB di Afrika tahun 1998
Pada bab sebelumnya telah dijelaskan tentang rumusan
tata kelola kepemerintahan dalam teori good governance yang beroperasi melalui ragam
intervensi negara dalam bentuk kebijakan hukum (legal policy) dan kebijakan sosial, dengan tujuan memformat sedemikian
rupa aspek kognisi hingga perilaku masyarakat agar dapat bertransformasi
menjadi enterprise society[14].
Hal tersebut menegaskan bahwa teory good
governance yang berlandasakan ideologi Ordo-liberal adalah teori yang lahir “dari dan untuk” kepentingan
pasar. Dengan kata lain dalam wujud aslinya good governance tidak lebih dari sekedar
agenda lanjutan negara-negara maju dan multi
national coorporate dalam melancarkan neo-imperialisme ekonomi terhadap
negara-negara dunia ke-tiga. Fakta ini menegaskan bahwa reformasi yang diharapkan
membawa perubahan subtansial ternyata belum mampu “memotong” tradisi intervensi asing (dengan ideologi liberalnya)
yang kian menggerogoti sendi-sendi perekonomian rakyat.
Hal terpenting yang patut dikhawatirkan atas bahaya
penerapan ekonomi pasar yang liberalistik adalah asumsi dasar dan pemaknaannya
yang sempit tentang aktivitas ekonomi. Dalam kajian economic anthropology[15],
dijelaskan bahwa sistem perekonomian pasar didasarkan pada persaingan antara
pembeli dan penjual. Semua pihak berhubungan untuk memperoleh keuntungan bagi
pihaknya sendiri, dan transaksi dilakukan tanpa perlu mengenal lawan transaksi.
Keuntungan dan persaingan adalah kata-kata kunci yang diyakini dipentingkan
oleh setiap anggota masyarakat. Melalui hal tersebut perekonomian pasar
menjanjikan efisiensi alokasi sumber daya, namun ia tidak pernah menjanjikan
pemenuhan kebutuhan bagi setiap orang. (Adam & Jesica Kuper, 2002)
Demikianlah
sistem perekonomian pasar membangun atmosfer relasi sosial yang kian kompetitif,
“dingin”, dan pada akhirnya menciptakan manusia-manusia yang individualistik.
Relasi sosial tereduksi menjadi sebatas kompetisi untuk mengejar keuntungan
yang tidak sekedar didasarkan pada pemenuhan kebutuhan semata, namun lebih dari
itu kompetisi dalam bentuknya yang paling sempurna kemudian menjadi semakin
identik dengan ekspansi modal menuju akumulasi profit. “...akumulasi profit ini, tidak bisa tidak, hanya dimungkinkan melalui ketimpangan dalam masayarakat dalam hal
akses dan otonomi dalam berproduksi. Kapitalisme, dengan demikian dapat hidup
hanya melalui eksploitasi
ketimpangan ini”. (Jaringan Riset Kolektif)
Perekonomian pasar dan segenap teori serta kebijakan
pendukungnya tidak pernah mampu lepas dari unsur liberal-individualistik. Good
governance lahir dengan mengemban misi mendorong transformasi cara
berfikir dan perilaku masyarakat dunia untuk sepenuhnya menjadi liberal dan
yang terpenting individualistik. Otoritas dan kedaulatan negara dilucuti -atau
diformat- sedemikian rupa agar tidak lagi menjadi penghambat penetrasi pasar.
Hal ini nampak dari hegemoni keseragaman pemahaman yang dibangun oleh
lembaga-lembaga donor internasional tentang istilah “kesejahteraan”.
Kesejahteraan dalam pemahaman sepihak penganut ideologi pasar dipersempit
maknanya menjadi sebatas peningkatan “daya beli”. Faktor penyempitan makna inilah
yang kemudian menyebabkan kronisnya perilaku kompetitif-liberalistik yang
sering kali mengabaikan unsur-unsur nilai,moral dan makna kolektivitas.
Salah satu tolak ukur keberhasilan ekonomi pasar
adalah terciptanya kondisi dimana seluruh individu terlibat sepenuhnya dalam
pasar, memiliki daya saing sekaligus daya beli yang tinggi. Dalam wujud
perkembangannya yang paling sempurna dunia akan dipenuhi oleh manusia/individu yang masing-masing
berkompetisi dalam rangka pemenuhan kebutuhannya sendiri, dititik itulah kita
akan benar-benar menjumpai manusia sebagai “Homo
Homini Lupus” (Manusia yang satu adalah serigala bagi manusia lainnya).
Dengan kata lain, melegitimasi dan menerapkan paham Ordo-liberal dalam wujud good
governance sebagai sarana pengaktifan mode kerja-kerja logika pasar
dalam masarakat sama artinya dengan mengabaikan unsur-unsur sosialistik yang
sejatinya ada dan bersemayam dalam diri dan jiwa setiap manusia. Tidak akan ada
istilah “masyarakat” sebagai bentuk kolektivisme individu. Tersisa hanyalah
kumpulan individu yang berinteraksi dalam relasi yang sepenuhnya kompetitif dan
“dingin”.
Kita tentunya tidak ingin terjebak dalam kondisi
dimana manusia hanya menjadi pemangsa atas manusia yang lain dengan
mengatasnamakan upaya-upaya ekonomi dalam rangka pemenuhan kebutuhan. Jika kita
tetap merasa “baik-baik saja” dengan
potensi bahaya dibalik kepentingan yang tersembunyi dalam Ordo-liberal dan good governance yang menjadi sarananya,
nampaknya pertanyaan serius perlu kita ajukan kepada diri kita sendiri. Sudahkah kita menjadi manusia yang
memanusiakan manusia? Seperti yang pernah dipesankan oleh Sam
Ratoelangi tentang kosep humanisme : “Sitou
Timou Tumou Tou”[16]
(Manusia yang memanusiakan manusia).
- Perekonomian
berbasis Komunitas dalam persfektif
Economic Anthropology
Rasanya tidak cukup hanya mengajukan kritik ideology
terhadap ontology good governance berikut sistem ekonomi yang
menjadi muatan utama didalamnya. Namun penulis merasa perlu mengetengahkan
salah satu eksampelar sistem ekonomi yang menjadi tawaran alternatif. Kata
alternatif menjadi penegas bahwa eksampelar yang akan ditawarkan bukanlah
satu-satunya cara untuk menangkis sistem ekonomi pasar. Penulis sepenuhnya
sadar bahwa kajian sederhana ini hanya mampu memuat sedikit dari sekian banyak
alternatif sistem ekonomi yang sangat mungkin jauh lebih sempurna dan lebih
berkesuaian dengan kondisi sosio-kultural masyarakat nusantara.
Dalam sub bab ini coba dikemukakan sedikit tentang
sistem ekonomi berbasis komunitas dalam persfektif disiplin ilmu ekonomi
antropologi. Perekonomian komunitas dalam persfektif ini dijelaskan sebagai “perekonomian yang dibentuk banyak asosiasi
seperti rumah tangga, kelompok kekerabatan, lingkungan pemukiman, serikat
perajin, sekte keagamaan, desa-desa mapan, kesatuan-kesatuan adat dan
sebagainya. Segenap komunitas lokal itu saling melebur dalam melakukan berbagai
kegiatan pemenuhan materi. Kepemilikan bersama merupakan prinsip penting, baik
itu terhadap tanah, pengetahuan, alat produksi, dan bahkan ajaran leluhur, yang
semuanya diyakini menjadi pemelihara keberadaan dan keutuhan masyarakat yang
bersangkutan. Susutnya rasa kebersamaan dan saling memiliki akan menimbulkan
konflik terbuka, dan hal itulah yang merupakan tugas utama pemimpinnya. Setiap
hasil, misalnya binatang buruan, harus selalu dibagi-bagi secara merata,
dimulai dari para anggota keluarga terdekat, kerabat, hingga ke para tetangga.
Pemenuhan kebutuhan materi merupakan persoalan bersama”. (Stepehen Gudeman,
1990 dalam Adam & Jesica Kuper 2002)
Perekonomian berbasis komunitas meskipun sering kali
di-labeli secara sepihak oleh kalangan tertentu sebagai sesuatu yang
tradisional dan primitif, namun pada kenyataannya hadir dalam gagasan-gagasan
yang lebih “ramah” dan humanistik. Dalam sistem ekonomi ini dan beberapa sistem
ekonomi dengan istilah lain yang se-aliran, manusia tidak dipaksa untuk harus
mengingkari aspek sosialitasnya sebagai mahluk yang sejatinya memiliki dua aspek
(aspek individu dan aspek sosial). Relasi manusia satu dengan lainnya lebih
dipahami dalam makna yang luas dan syarat dengan unsur nilai serta moral.
Relasi tidak hanya dilihat sebagai sebuah interaksi industrialistik dengan
iklim kompetisi individulistik yang ketat. Ia mewujud dalam gagasan-gagasan dan
ide yang mementingkan kekerabatan dan kolektivitas.
Penulis tentu saja tidak ingin mengajak masuk ke
ranah konsep ekonomi sosialis yang identik dengan Marxisme. Namun melampaui
itu, penulis mencoba menawarkan gagasan-gagasan dan ide yang lahir dari
genuinitas masyarakat nusantara. Kesemua itu hanya dapat diraih dengan
melakukan kajian berbasis historycal
approach yang serius dan mendalam. Perlu juga ditekankan, dengan mengajukan
tawaran tersebut bukan berarti makalah ini berkepentingan mengajak kita semua
untuk kembali ke masa lalu dan kemudian menjadi konservatif atau bahkan
primitif. Sebisa mungkin perdebatan itu dijauhkan dari pembahasan-pembahasan
dalam makalah ini. Karena dengan demikian, kita hanya akan terjebak pada dua
istilah “gaib” yakni tradisonalitas vs modernitas yang tidak pernah jelas
takaran dan pengertiannya.
Dalam pemahaman penulis, uraian yang ditulis Stephen
Gudeman dalam Ensiklopedia Ilmu Sosial jilid I adalah sebuah eksampelar yang
mendekati/identik dengan ciri-ciri umum yang nampak dari kekhasan sosio-kultural
masyarakat nusantara. Selebihnya menemukan dan menegaskan kembali manifesto
sistem ekonomi berbasis kearifan nusantara menjadi pekerjaan rumah bersama yang
harus segera dikerjakan dengan serius. Bukan malah beralih jauh kepada sistem
ekonomi pasar yang liberalistik. Mengutip tulisan kawan Njoto[17]
: “Masalah Indonesia hanya dapat
diselsaikan dengan jalan Indonesia, cara Indonesia dan gaya Indonesia”.
BAB
III
NEGARA
DAN SEKTOR PRIVAT
A.
Konspirasi
Pemerintah dan Pengusaha
Disejajarkannya tiga aktor penting dalam rumusan
teori good governance yakni negara, sektor
privat/pasar dan masyarakat merupakan jalan yang ditawarkan untuk mewujudkan
kelancaran pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Dengan asumsi, tiga aktor ini
dapat bekerja sama secara simultan dalam upaya-upaya pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi.
Namun pada kenyataannya kehadiran sektor privat
ditengah-tengah relasi antara negara dan warga masyarakat tidak jarang justru
mendatangkan persoalan lain yang menghambat pembangunan dan pertumbuhan
ekonomi. Hal ini muncul karena kerap terjadi “distorsi” kepentingan antara pelaku usaha dengan masyarakat.
Disamping itu “keintiman” relasi antara
pelaku usaha dan elit pemerintah sering berakhir pada “perselingkuhan” atau konspirasi.
Berikut akan dipaparkan hasil penelitian yang
dilakukan di Kota Malang, dikutip dari buku berjudul “Menggugat Partisipasi Publik
dalam Pemerintahan Daerah (Sebuah Kajian dengan Pendekatan Berpikir Sistem)”,
karya Dr. M.R Khairul Muluk, M.Si. .
Pada dasarnya, pengaruh elit ekonomi lokal[18]
kepada pejabat pemerintah daerah dan anggota DPRD dalam penentuan kebijakan
daerah disebabkan oleh kemampuan elit ekonomi lokal tersebut untuk menyediakan
kebutuhan modal atau finansial dari pejabat pemerintah daerah dan anggota DPRD
tersebut. Modal atau finansial ini dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pribadi,
partai, ataupun daerah. Secara pribadi, banyak kebutuhan finansial diperoleh
sebagai penghasilan diluar gaji dan diberikan oleh elit ekonomi lokal dalam
beragam bentuk, seperti bonus, bingkisan, tanda terimakasih, dan lain
sebagainya. Kebutuhan finansial partai politik dalam memperjuangkan
kepentingannya juga sering kali dipenuhi oleh elit ekonomi lokal ini.
Kepentingan partai politik untuk kampanye, lobi, dan pemeliharaan konstituen
membutuhkan dana besar yang harus dipenuhi untuk mempertahankan eksistensisnya.
Elit ekonomi lokal ini juga dibutuhkan oleh daerah untuk meningkatkan
pembangunan ekonomi daerah. Investasi swasta dibutuhkan untuk meningkatkan
pertambahan lapangan kerja, pajak daerah dan perputaran roda perekonomian.
(Kahirul Muluk, 2007)
Kekuatan elit ekonomi lokal ini tidak hanya
menyangkut kemampuannya dalam menyediakan sumber dana finansial, namun juga
disertai kemampuan untuk memaksa melalui kekuatan fisik dan kekerasan. Kekuatan
fisik ini diperoleh karena kemampuannya memengaruhi oknum polisi dan militer
serta kemampuannya mengendalikan kelompok preman di Kota Malang. Dengan dua
jenis kekuasaan yang dimiliki (ekonomi dan fisik) maka elit ekonomi lokal ini
sangat berpengaruh dalam penentuan kebijakan publik di Kota Malang. Jika ada
seorang anggota DPRD tidak terpengaruh kekuatan ekonomi elit ini maka ia masih
akan berhadapan dengan kekuatan fisiknya. Seorang anggota DPRD mengungkapkan
ketakutannya dengan : “yang harus kami
pikirkan sebenarnya bukan diri kami sendiri. Mungkin kami bisa menjaga diri,
tapi bagaimana dengan anak-anak dan istri kami. Walau bagaimanapun kami tidak
dapat menjaga keselamatan mereka terus menerus. Kalau kami lapor polisi atau
tentara dan meminta perlindungan kepada mereka jelas tidak mungkin, lha wong
mereka justru melindungi dia.”[19] (Kahirul
Muluk, 2007)
Dengan kondisi dinamika politik yang demikian.
Sektor privat (pengusaha) di Kota Malang menjadi memiliki keleluasaan dalam
mengintervensi kebijakan pembangunan daerah. Salah satu contoh yang dapat
dikemukakan adalah disahkannya Perda No. 7 tahun 2001 menjadi dasar bagi
berdirinya pusat perbelanjaan Malang Town Square (Matos) yang ditentang oleh
banyak kalangan terutama masyarakat pendidikan dan LSM. Penentangan dilakukan
dengan alasan bahwa Matos berdiri dikawasan pendidikan sehingga dikhwatirkan akan mencemari
kondusifitas iklim pendidikan.
Meskipun tidak secara eksplisit mebahas tentang
praktik good governance, namun hasil penelitian dalam
buku tersebut mengungkap banyak fakta tentang sulitnya membangun relasi yang
setara antara sektor privat dan pemerintah. Relasi “politis” yang terjalin
antara kedua aktor tersebut justru menempatkan pemerintah daerah (sebagai
representasi dari negara) menjadi sub-ordinat dari kepentingan bisnis/pasar.
Pada akhirnya yang terjadi adalah “State
under controling by privat sector” atau bahkan “State Under Attack”.
Fakta yang terungkap dalam hasil penelitian tersebut
menjadi sisi kelemahan dari rumusan-rumusan tentang tata kelola kepemerintahan
dalam teori good governance. Meskipun
sebagian kalangan berpendapat bahwa masalah yang muncul lebih disebakan oleh
ketidak siapan struktural negara-negara dunia ke-tiga dalam menerapkan good
governance. Sebaliknya, penulis mencoba melihat persoalan tersebut
dari persfektif yang berbeda, negara-negara maju dan kekuatan ekonomi global
sepenuhnya telah gagal memperbaiki kesalahan dan menebus dosa yang telah mereka
buat sendiri. Persoalan korupsi, ketidakjelasaan hukum, mentalitas birokrasi dan aparat penegak hukum
yang kian “bobrok”, lemahnya kekuatan
dan posisi tawar preasure group (masyarakat
marginal) dinegara-negara dunia ketiga termasuk Indonesia, harus dapat dilihat
secara jeli sebagai beberapa dampak buruk yang terjadi dari hasil penerapan teori
developmentalisme yang dulu merupakan teori yang dihembuskan oleh negara-negara
maju dan kekuatan ekonomi global.
Sekaligus menguatkan pernyataan dari Presiden
Tanzania yang dikutip di bab terdahulu, developmentalisme sebagai teori yang
juga lahir dari kekuatan ekonomi global dan negara-negara maju dan telah
diterapkan di Indonesia di kurun tahun 1960-an hingga 1990-an awal, disatu sisi
sepenuhnya berhasil menjadi sarana perluasan area ekspansi kapital dan profit
negara-negara maju serta kekuatan ekonomi global. Namun disisi lain sepenuhnya
telah gagal karena membawa dampak destruktif kronik bagi sebagaian
negara-negara dunia ketiga yang pernah menerapkannnya. Perlu digaris bawahi
bahwa korupsi, kepemimpinan otoritarian, arogansi dan represifitas militer,
termarginalkannya masyarakat akar rumput terjadi sebagai kosekuensi dari
penerapan teori developmentalisme.
Dewasa ini lahir teori baru yang disebut good
governance. Di “puja” dan dipromosikan oleh sebagian kalangan
akademisi dan elit yang melihat persoalan kebangsaan dalam persfektif yang
sangat sempit,parsial dan “ceroboh”.
Bukankah good governance tidak lebih dari sekedar
kelanjutan agenda besar kapitalisme dan imperialisme barat dalam melancarkan
penjajahannya dan sekaligus menjadi “seperangkat alat” untuk memperbaiki dampak
destruktif yang ditimbulkan oleh teori pembangunan yang mereka terapkan sebelumnya?
Good governance sepenuhnya
telah gagal sebagai sebuah sarana “penebus dosa” negara-negara maju dan
kekuatan ekonomi global yang telah membuat kerusakan akut di masa sebelumnya.
Namun good governance sebagai sebuah teori yang
menjadi sarana keberlanjutan agenda penjajahan kaum neo-imperialis masih
memiliki peluang yang sangat besar untuk berhasil diterapkan di Indonesia, mengingat
tidak sedikit akademisi kita yang berlaku “ceroboh”
dengan melegitimasi dan mempromosikan good governance sebagai teori yang diyakini benar
dan relevan. “Cukupkan keterpesonaan
kita terhadap Eropa” demikian Sam Ratoelangi mengingatkan kita sebagai sebuah
bangsa yang sejatinya besar dan mandiri.
Akankah kedaulatan kita akan terus menerus di “rong-rong” oleh kepentingan asing?
Menjawabnya adalah tugas dan tanggung jawab kita bersama.
BAB
IV
GRASSROOTS GOVERNANCE
A.
Grassroots governance
sebagai Altenatif
Apa yang dimaksud sebagai konsep grassroots
governance dalam makalah ini sama sekali bukan merupakan konsep
penunjang dalam rangka optimalisasi penerapan good governance. Grassroots governace yang dimaksud merupakan
alternatif konsep tandingan yang coba diketengahkan penulis agar sekiranya
dapat dikaji lebih serius dan mendalam.
“... namun
apakah politik hukum yang dicanangkan dalam produk perundang-undangan itu (yang
menjadi basis legitimasi dari berbagai kebijakan) telah memiliki legitimasi
dari rakyat dalam pengertian konsensus mengenai tujuan dan cita-cita?” (Susanto
Polamolo, 2013)
Kutipan diatas, menjadi pondasi dari konstruksi
teori dan konsep grassroots governance. Penegasan tentang posisi
rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam proses serta dinamika
politik dan pembangunan adalah capaian utama yang disasar oleh gagasan-gagasan grassroots
governance.
Oleh karenanya grassroots governance dapat dilihat sebagai upaya
sekaligus sarana menuju terciptanya demokrasi partisipatif yang menyentuh
hingga ranah substansial. Demokrasi yang dalam pelaksanaannya melibatkan rakyat
dan menjadikan kehendak sosial kolektif sebagai referensi utama.
Selain itu, satu hal yang tidak kalah pentingnya
adalah posisi kebudayaan dalam konstruksi teori dan konsep grassroots governance.
Sebagai paripurna tertinggi dari dasar negara, kebudayaan harus menjadi bagian
penting yang tidak terpisahkan dari sistem politik, sistem ekonomi dan sistem
hukum. Hal ini penting, agar keseluruhan proses dan aktivitas yang terjadi
dalam sistem tidak “mendegradasi” kearifan budaya dan nilai-nilai yang
berkembang dimasyarakat.
Dalam tataran sistem politik, penerapan grassroot governance harus mampu mendorong
proposisi tata kelola kepemerintahan yang berbasis rakyat, baik melalui
mekanisme kemitraan maupun pendelegasian wewenang dan otoritas dalam hal
perencanaan, pengambilan keputusan, pelaksanaan hingga tataran evaluasi dari
pemerintah pusat dan daerah kepada simpul-simpul komunitas lokal. Sehingga
produk perundang-undangan yang dikeluarkan serta kebijakan-kebijakan yang
dihasilkan tidak lagi didasarkan pada asumsi pihak tertentu terhadap
permasalahan dan kebutuhan masyarakat. Seperti halnya yang terjadi dalam
pelaksanaan teory good governance yang dilandaskan pada asumsi
lembaga-lembaga donor international atas kondisi, persoalan, kebutuhan serta
jalan solusi yang seharusnya ditempuh oleh masyarakat-masyarakat di negara
dunia ke-tiga.
Dalam penerapannya, framework sistem politik dan tata
kelola kepemerintahan yang dibangun oleh
grassroots governance, lebih kurang senada dengan
apa yang disampaikan oleh Abraham Lincoln tentang demokrasi : “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”.
Namun penegasan kadaulatan rakyat harus dapat disama-artikan dengan penegasan
kedaulatan negara. Perluasan otoritas dan wewenang yang diberikan kepada civil society (rakyat) tidak sama dengan
“pelemahan” otoritas dan fungsi negara.[20]
Negara dalam fungsi dan perannya yang vital harus
tetap berjalan sebagaimana mestinya. Terutama dalam kaitannya dengan penjaminan
hal-hal yang berkitan dengan hak-hak dasar dan hajat hidup orang banyak tanpa
menimbulkan afek dependensi (ketergantungan). Penjaminan hak-hak dasar tentu
saja tidak harus kemudian diterjemahkan dalam bentuk kebijakan-kebijakan
karikatif, namun dikemas dalam bentuk kebijakan yang dapat menjadi triger munculnya keswadayaan dan
kemandirian rakyat.
Grassroots
governace dalam sistem ekonomi, diterapkan sebagai sebuah
sistem yang dapat menunjang penguatan simpul-simpul kekuatan ekonomi rakyat melalui
peningkatan daya produksi kolektif sebagai sarana pemenuhan kebutuhan bersama.
Perekonomian harus dapat dilihat sebagai salah satu bentuk ekspresi sosialitas,
hubungan simbiosis-mutualistik menuju perwujudan relasi yang harmonis. Hal ini
hanya dapat diwujudkan dengan mengaktifkan nilai-nilai lokal yang cendrung
mengarah kepada kolektivisme (baca: kebersamaan dan kerukunan). Setiap beban
dan persoalan pemenuhan kebutuhan harus dapat dimaknai sebagai beban dan
persoalan bersama yang akan lebih mudah jika diselsaikan dengan jalan “gotong
royong”.
Dalam sistem hukum, teori dan konsep grassroots goverenance harus dapat
dimaknai dan diterapkan dalam rangka memformat sistem tata kelola kepemerintahan
sehingga menjamin ketersedian ruang partisipasi yang memadai bagi masyarakat.
Selain menyediakan mekanisme dan ruang partisipasi, sistem hukum juga harus
mampu menciptakan perlindungan hukum terhadap aktivitas partisipasi yang
dilakukan oleh masyarakat. Kontrol dan pengawasan yang kuat terhadap perilaku
elite dan birokrasi lokal juga merupakan bagian penting yang harus
diperioritaskan dalam sistem hukum.
Mengenai kaitannya dengan sistem ekonomi, sistem
hukum yang berbasis grassroots governance harus dapat berperan sebagai
landasan normatif yang menjamin pemberdayaan ekonomi rakyat, memberikan
proteksi dari persaingan bebas dalam pasar yang sering kali tidak adil dan
tidak seimbang.
Grassroots Governance bermaksud menjadikan rakyat
sebagai subject sekaligus object dalam pembangunan. Di titik itulah rakyat
memiliki hak untuk “melaksanakan” sekaligus berkewajiban untuk “mempertanggung
jawabkan” arah, jalan dan proses pembangunan yang berlangsung. Kesemuanya tentu
saja didasarkan pada upaya pemenuhan kepentingan dan kebutuhan bersama serta
dilandasi oleh kearifan nilai moral dan budaya.
BAB
V
KESIMPULAN
Good governance adalah sebuah
gagasan tentang teory tata kelola kepemerintahan dan pembangunan yang
didasarkan pada perinsip-perinsip yang terkandung dalam ideologi Ordo-liberal. Ideologi ini lahir dalam
gagasan-gagasan yang lebih “ramah” dari pada neo-liberalisme, namun dalam
tujuan yang sama yakni melanjutkan agenda imperialisme ekonomi “barat” terhadap
negara-negara berkembang.
Letak kesalahan yang paling mendasar dari para
penganut Ordo-liberal adalah meyakini bahwa rekayasa kondisi sosial melalui
jalur kebijakan sosial dapat merubah iklim pasar yang
kompetitif-individualistik menjadi iklim pasar yang lebih “hangat” dan kental
akan unsur-unsur nilai moral dan budaya.
Karakteristik dasar “pasar” yang sepenuhnya
kompetitif, individualistik, dan “dingin” tidak akan dapat ditutupi melalui
rekayasa kebijakan sosial. Pasar dalam pemahaman sempit kelompok liberal yang
diartikan sebagai sarana pemenuhan kebutuhan pribadi dan akumulasi keuntungan
belaka, akan selamanya berwatak eksploitatif, kompetitif dan individualitik,
dimana realitas tersebut sama sekali bertentangan dengan apa yang terkandung
dalam nila-nilai moral dan kebudayaan masyarakat timur.
Mengubah karakteristik (sifat alamiah) “pasar” hanya
dapat dilakukan dengan cara “menggeser” (mengubah) secara radikal pemahaman
dasar manusia tentang “pasar” (aktivitas ekonomi) itu sendiri. Pasar tidak
boleh lagi dipahami semata-mata hanya sebagai sarana pemenuhan kebutuhan
peribadi dan sarana melipat-gandakan modal (profit
oriented) bagi segelintir pihak saja, namun harus dilihat sebagai sarana
pemenuhan kebutuhan kolektif (bersama) dimana individu satu dan individu yang
lain terkoneksi dalam relasi yang simbiosis-mutualistik.
Sementara itu, dalam rangka “me-negasi” watak ekonomi manusia yang eksploitatif, manusia harus
merubah pemahaman fundamental tentang konsep “manusia” itu sendiri (back to the think them self). Manusia
semestinya tidak dilihat sebagai “homo
homini lupus”, sebagai salah satu jenis hewan bertulang belakang dengan
tingkat intelektualitas paling tinggi namun di dilain sisi memiliki “animal instinct” yang kuat. Namun
manusia harus mampu dilihat sebagai mahluk yang memiliki unsur nilai dan moral
dalam dirinya sebagai capaian dari evolusi peradaban yang telah dilaluinya.
Lebih penting dari itu adalah manusia harus dipahami sebagai mahluk yang
memiliki cita-cita dan harapan ( sehingga mampu merencanakan dan memproyeksikan)
masa depannya sendiri. Dengan demikian manusia akan mampu “menyesuaikan diri”
(menekan instink kebitanagan yang cendrung buas), dalam rangka membangun tatanan masa depan
dunia yang lebih baik dimana manusia yang satu dengan manusia yang lain
terkoneksi dalam relasi yang harmonik bukan eksploitatif.
Selain uraian diatas, kesulitan penerapannya dalam
ranah kongkrit menunjukkan sisi kelemahan dari rumusan-rumusan tentang tata
kelola kepemerintahan dalam teori good
governance. Hal ini disebabkan oleh banyak hal, diantaranya adalah
ketidaksesuainnya dengan kondisi sosio-kultural serta kondisi politik dan
ekonomi dibeberapa negara dunia ke-tiga yang terlampau kronis paska penerapan
teori developmentalisme.
Hal terpenting yang coba dikemukakan dalam makalah
ini adalah menganai agenda-agenda terselubung di balik teori good governance. Beberapa uraian
mengenai hal tersebut telah dikemukakan secara terpisah di bab-bab sebelumnya.
Bab kesimpulan tidak akan mengurai kembali hal-hal
yang telah dikemukakan sebelumnya. Bab ini memuat kesimpulan dalam bentuk skema
kronologis tentang good governance. Serta skema tentang grassroots
governance yang menjadi konsep alternatif.
DAFTAR PUSTAKA
Ade Chandra Dkk, Manifesto pembaharuan desa, APMD Press, Yogyakarta, 2005.
Adam Kuper & Jesica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000
Affan Gaffar, Politik Indonesia Transisi menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2006.
Bagus Aryo, Tenggelam dalam Neo-liberalisme,
Francis Fukuyama, Trust, Qalam, Yogyakarta, 2002
Khairul Muluk, Menggugat Partisipasi Publiuk Dalam Pemerintahan Daerah (Sebuah
Kajian
dengan Pendekatan Berpikir Sistem), Bayumedia, Malang,
2007.
L. Laeyendecker, Tata, Perubahan, dan Ketimpangan; Suatu pengantar sejarah sosiologi,
PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991.
Lusia Indrastuti & Susanto Polamolo,
Hukum Tata Negara dan Reformasi
Konstiutusi
di Indonesia “Refleksi Proses dan
Prospek di Persimpangan”, Total media, Yogyakarta, 2013
Susanto Polamolo, Sebuah Eksampelar Otonomi Daerah ( Membumikan “Grassroots governance”
dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia), 2013
Samuel P. Huntington, The Clash of Civilization, Qalam, Yogyakarta, 2005
1)
Developmentalisme merupakan teori dan konsep pembangunan yang di
promosikan oleh negara-negara maju melalui lembaga-lembaga international
seperti IMF, World Bank dan UNDP untuk diterapkan di negara-negara berkembang.
Menitik beratkan pada percepatan pertumbuhan ekonomi makro dan pembangunan
sektor industri (giant factory).
Teori ini digunakan Indonesia pada masa kepemerintahan Orde Baru. Penerapannya
mesyaratkan stabilitas politik dan keamanan, dimana hal ini kemudian diyakini
sebagai salah satu penyebab terbentuknya pola kepemerintahan dan mekanisme
pembangunan yang sentralistik dan cenderung otoriter.
2)
Trickle down effect atau disebut efek menetes kebawah ; sebuah
mekanisme pemerataan hasil pembangunan dengan mengandalkan side efect dari pertumbuhan ekonomi diskala makro dan kemajuan
sektor industri. Hal ini merupakan mekanisme penunjang dari teori developmentalisme, yang pada akhirnya
terbukti gagal dalam menangani kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat bawah. Mekanisme “efek
menetes kebawah” ini didasarkan pada logika bahwa peningkatan pertumbuhan
ekonomi di skala makro akan diikuti dengan pertumbuhan disektor mikro dan
pemerataan hasil pembangunan melalui “tetesan” surplus ( nilai lebih ). Aksi
protes dan ketidakpercayaan publik terhadap keberhasilan trickle down effect kala itu, mengundang respons represif dari
pemerintah dan aparat.
3)
Dinamika dan
konstalasi politik yang terjadi menjelang akhir kepemerintahan Orde-baru yang
identik dengan represifitas dan gaya kepemimpinan yang otoriter, menyisakan
semacam “trauma kolektif”. Liberalisasi politik (demokratisasi) yang diusung
oleh good governance menjadi sebuah
gagasan yang lebih masuk akal. Tawaran-tawaran dalam rumusan good governance seolah menjawab
kekhawatiran masyarakat akan kemunculan kembali negara dan militer yang
represif dan cenderung menindas.
4)
Prediksi futuristik
; istilah yang digunakan penulis untuk menangkap gambaran-gamabaran mengenai
ramalan masa depan dari beberapa pemikir dan akdemisi tentang berbagai
kemungkinan yang terjadi di beberapa puluh tahun kedepan jika good governance dapat diterapkan dengan
baik di Indonesia. Lihat juga artikel Jawa Pos edisi 14 Desember 2013.
6)
Ordo-liberal
merupakan pengembangan dari neo-liberal. Ordo-liberal memiliki pandangan anti
naturalistis yang radikal atas pasar dan prinsip persaingan. Pandangan anti
naturalistis menegaskan bahwa konstruksi tatanan ekonomi tidak dapat diserahkan
kepada perilaku alamiah pasar, tapi harus diciptakan oleh negara melalui
kebijakan yang berbasis aturan yang konsisten (Peacock & Willgerodt, 1989).
Kompetisi bukanlah sesuatu yang ada secara “alamiah” tetapi menjadi bagian dari
intervensi negara untuk membangun suatu tatanan ekonomi yang kompetitif (Lemke,
2001).
7)
Metamorfosis;
istilah yang digunakan penulis dalam menggambarkan proses perkembangan ideologi
neo-liberalisme, dimana terjadi revisi sekaligus pengembangan/pembaruan tentang
gagasan dan ide-ide dasar yang menyangkut berbagai aspek (konsep dan teori)
yang menjadi sarana pemenuhan kepentingan penganut ideologi neo-liberal.
Metamorfosis ini dilakukan melalui kajian dan kerja-kerja keilmuan serius.
Salah satu Universitas yang dengan serius dan konsisten melakukan hal tersebut
adalah Chicago University, United State
of America.
10)
Hidden Agenda ; Agenda atau kepentingan-kepentingan negara-negara
maju dan multy national coorporate di
balik teori/konsep good governance.
Sejauh ini masih berkaitan dengan pengaktifan mode “pasar” di negara-negara
dunia ke-tiga. Dalam pandangan negara-negara maju, negara-negara dunia ketiga
tetap dilihat sebagai area ekspansi modal sekaligus pangsa pasar yang
menjanjikan.
11)
Apa yang diharapkan ordo-liberal mengenai fungsi kebijakan sosial, dalam
praktiknya lebih nampak sebagai sesuatu yang utopis. Mengubah
sifat/karakteristik dasar pasar yang identik dengan relasi kompetisi
individualistik menjadi sesuatu yang kental dengan unsur nilai-nilai moral dan
budaya tentu saja tidak dapat dilakukan melalui jalur kebijakan sosial.
12)
Capacity: dapat diartikan sebagai kemampuan negara-negara
berkembang untuk mengimbangi pengaruh pasar. Disatu sisi pasar menyediakan
peluang, namun dalam bentuknya yang lain pasar dapat menjadi sarana
eksploitatasi sumber daya dan manusia. Takaran paling mudah untuk mengukur capacity (kemampuan) negara dalam
mengimbangi dampak yang ditimbulkan pasar adalah sejauh mana negara mampu
melindungi segenap kedaulatannya, menjamin hak-hak dasar warganya, memberikan
proteksi sekaligus peningkatan kapasitas bagi “yang lemah” melalui produk
perundang-undangan dan kebijakan-kebijakan.
16)
Istilah yang diperkenalkan oleh Sam Ratoelangi dalam sebuah artikel
berjudul “Minahasa Culture and Tradition” yang dimuat di Fikiran Rakyat,
31 Mei 1930. Artikel tersebut merupakan kelanjutan dari pidato yang beliau
sampaikan ketika dilantik menjadi ketua Indische Vereniging (Perhimpunan
Indonesia) di Belanda pada tahun 1914-1915. Adapaun makna dari istilah “Sitou Timou Tumou Tou” ialah manusia
yang memanusiakan manusia.
merdekaaaaa!!!!!!!!!!!!!!!!!!
ReplyDeleteMerdekaa
ReplyDeleteKajiannya cukup ilmiah dan membuat kepala saya sedikit pusing. Tetapi patut diapresiasi sebagai bentuk sikap kritis atas hegemoni pemikiran barat. saya rasa ini sejalan dengan Soekarno yang sangat tidak menghendaki penjajahan, termasuk penjajahan pemikiran. Merdeka....!
ReplyDeleteKritiknya? masukan tentang grassroots governance
ReplyDelete